DIMANA TANAH DI JAJAK DI SITU JUA LANGIT DI JUNJUNG

SELAMAT DATANG DI FOLKS OF BANJAR • BERBAGI INFORMASI TENTANG SEJARAH SENI DAN BUDAYA BANJAR • FOLKS OF BANJAR DI BANGUN UNTUK KELESTARIAN SEJARAH ADAT DAN BUDAYA BANUA BANJAR • KRITIK DAN SARAN ANDA SANGAT KAMI PERLUKAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI • SEMOGA APA YG FOLKS OF BORNEO HADIRKAN DAPAT BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA • TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN KAMI SELALU MENUNGGU KUNJUNGAN ANDA KEMBALI KE BLOG INI

Terjemahkan

Rabu, 06 Maret 2019

BANDAR PATIH MASIH

Sungai Martapura Banjarmasin

BANDAR PATIH MASIH
(BANDAR MASIH / BANJARMASIN )
(Sejarah Masuknya Islam Di Kerajaan Banjar  Bahagian II)

Lahirnya Kerajaan Banjar dan Bandar Patih Masih 2840
Maka tersebut Patih Masih orang besarnya di Banjar itu. Maka bernama Banjarmasin karena nama orang besarnya di Banjar itu nama patih masih itu. 2910 Maka ditarik sekalian kaluwarganya sakalian sahabat yang berhimpun sama minum itu oleh Patih Masih itu, kira-kira orang limaratus itu, sama mufakat handak menjadikan raja itu : “Dari pada kita masih menjadi desa, senantiasa kena sarah dengan pupuan maantarkan kahulu, hangir kita berbuat raja, kalau ia ini yang saparti kabar orang itu cucu Maharaja Sukarama yang diwasiatkannya Menjadi raja”.
2915 Maka Patih Masih berkata, serta Patih ampat orang itu sama berkata :
“andika Kaula jadikan raja”. 2930 Kata Patih lainnya itu :
“Sukarela kaula mati mangarjakan kerajaan andika itu”. 2935 Segala orang itu sama menyambah mewastukan Raden Samudera itu Menjadi raja. Maka disebut orang Pangeran Samudera. 2940 Kata Patih Masih : “Ini bicara kaula kita kajut mudik ka Marah Bahan, kita rabut bandar itu, maka segala orang dagang itu bawa hilir dan orang yang diam di Muara Bahan itu bawa hilir. sudah itu kita berbuat Bandar pula disini.33 Raden Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Raden Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha . Awal dari kebencian Pangeran Tumenggung pada kemenakannya sendiri itu ialah ketika Maharaja Sukarama masih hidup mewasiatkan bahwa yang kelak akan Menjadi raja kalau dia mangkat adalah cucunya Raden Samudera. Umurnya waktu itu baru tujuh tahun, pada saat Maharaja Sukarama mangkat. Oleh Mangkubumi Aria Taranggana dinasihatkan agar Raden Samudera melarikan diri ke daerah menghilir sungai melalui
Muara Bahan ke Serapat ,
Balandian , Banjarmasin atau
Kuwin .


32 J.J. Ras, op.cit., hal. 426-440.
Aria Tranggana membekali Raden Samudera dengan sebuah perahu, sebuah jala bekal makanan dan pakaian.
“... Aria Taranggana itu maka dicarinya Raden Samudera itu dapatnya maka dilumpanya arah perahu tangkasyu maka diberi jala kecil sebuah, parang sabuting, pisau sabuting, pengayuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuting, mangkuk sabuah, baju salambar, salawar salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar, kata Aria Taranggana Raden Samudera tuan hamba larikan dari sini karena tuan hendak dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, tahu-tahu menyamar diri, lamun tuan pigi beroleh menjala ...34 Ketika Raden Samudera menyembunyikan diri ke daerah sunyi di daerah Muara Barito, dari Muara Bahan sebagai bandar utama Negara Daha, telah terdapat sejumlah kampung di daerah-daerah muara seperti
Balandean, Sarapat , Muhur ,
Tamban, Kuwin , Balitung dan
Banjar. 

Kampung Banjarmasin atau kampung Melayu merupakan kampung yang khusus karena dibentuk oleh lima buah sungai yakni sungai Pandai, sungai Sigaling, sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran) yang kesemuanya anak sungai Kuwin. Kekhususan kedua dari Banjarmasin ini merupakan kampung dari orang Melayu yang pertama dari kampung atau di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju di daerah Barito Hilir.
Marabahan atau Muara Bahan yang merupakan kampung pemukiman Oloh Ngaju, didirikan oleh Datuk Bahendang Balau, ketua suku Oloh Ngaju yang turun dari Barito. Seperti yang disebut oleh J.J. Ras yang telah mentranskrip Hikayat Banjar, mengapa kampung orang Melayu disebut Banjarmasin. “Maka bernama Banjarmasin karena nama orang basarnya itu nama Patih Masih itu”. Patih Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha.
Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa. Mereka sepakat mencari Raden Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat, karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuh Raden Samudera.

 33 J.J. Ras, op.cit., hal. 398-404. 34 Depdikbud, “Hikayat Banjar”, Seri Penerbitan Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981, hal. 70.
Tindakan yang dilakukan ialah memindahkan bandar atau pelabuhan perdagangan, karena ini sangat penting dari segi ekonomis negara. Patih Masih berkata : “Kita kajut ke Muara Bahan, kita rabut bandar itu. Sudah itu kita berbuat bandar pula disini”. Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan lagi. Tentara dan armada sungai dari Pangeran Tumenggung bergerak ke hilir ke sungai Barito dan di hujung Pulau Alalak terjadilah pertempuran sungai besar-besaran yang pertama antara kedua belah pihak dengan kekalahan pihak Pangeran Tumenggung. Sejak itu terjadilah penarikan garis demarkasi dan blokade ekonomis oleh pantai terhadap pedalaman, mulai dari Muara Bahan. Pengalaman dalam pertempuran pertama ini masing-masing pihak mengatur siasat untuk dapat mengalahkan lawannya. Pangeran Tumenggung mempersiapkan pasukan lebih besar lagi, begitu pula Raden Samudera atau Pangeran Samudera berusaha mencari bantuan dari pelosok wilayah Sambas , Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pambuangan, Sampit, Mendawai Sanggauh, Karasikan, Berau, Kutai, Asam-asam, Kintap, Sawarangan, Takisung dan
Tabaniau dan berhasil terkumpul pasukan sebesar
40.000 orang . Bantuan terbesar dan mengandung arti yang lebih penting adalah bantuan dari kerajaan Demak , kerajaan Islam terbesar di pantai utara Jawa. Bantuan kerajaan Islam Demak mempunyai pengaruh besar bagi Kalimantan Selatan, sebab bantuan Demak hanya diberikan kalau raja dan seluruh penduduk memeluk agama Islam. Sultan Demak mengirim bantuan seribu orang pasukan dan diiringi oleh seorang Penghulu Islam yang akan meng-Islamkan raja dan penduduk. Dengan kekuatan yang besar tentara berangkat menyongsong air mengalir, sedang gamelan dipalu dengan gembira. Pangeran Samudera turut pula berangkat dengan berkedudukan di dalam sebuah gurap yang diperhiasi dengan tanda-tanda kebesaran diiringi oleh Patih Masih, Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung dan Patih Kuwin masing-masing dengan lencana kebesaran. Pertempuran terjadi di dekat Rantau Sangyang Gantung. Pasukan Pangeran Samudera dapat menembus pertahanan musuh dan menimbulkan korban yang sangat besar. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan bertahan di muara sungai Amandit dan Alai. Kemenangan demi kemenangan berada di pihak Pangeran Samudera dan
bendera Tatunggul Wulung Wanara Patih , bendera Pangeran Samudera selalu berkibar. Akhirnya Mangkubumi Negara Daha Aria Taranggana menyarankan kepada rajanya daripada rakyat kedua belah pihak banyak yang mati, lebih baik kemenangan dipercepat dengan mengadakan perang tanding antara kedua raja yang bermusuhan, hal mana kemudian disetujui oleh kedua belah pihak. “... Lamun masih baadu rakyat satu tahun tiada bartantu yang manjadi raja itu. rakyat juga yang binasa karana orang Negeri Daha ini bassuluk barkaluarga itu sampian jua manjadi raja lamun tiada barbanyak tiada barguna sakalian kula, siapa hidup manjadi raja, sudah itu kula lawan Patih Masih”.35 Dengan berperahu ketangkasan, masing-masing dikemudikan Mangkubumi kedua belah pihak, masing-masing berpakaian perang, berpedang, memakai perisai, sumpit tambilahan, keris dan talabang, dengan disaksikan rakyat kedua belah pihak, raja-raja berjumpa di atas sungai Parit Basar. Pangeran Samudera tidak mau melawan, karena melawan Pangeran Tumenggung berarti melawan ayah bundanya sendiri dan mempersilahkan Pangeran Tumenggung membunuhnya tetapi ternyata Pangeran Tumenggung lemah hatinya timbul kasih sayangnya pada kemenakannya sendiri, dan keduanya berpelukan. Pangeran Tumenggung rela menyerahkan kekuasaan dan segala tanda kebesaran kepada kemanakannya sendiri, dan keduanya berpelukan. Terjadilah penyerahan regalita kerajaan terhadap Pangeran Samudera.
Pangeran Tumenggung diperintahkan berkuasa di Batang Alai dengan 1.000 orang penduduk. Negara Daha ditinggalkan, menjadi kosong karena semua penduduknya diangkut ke Banjarmasin. Negara Daha lenyap dari sejarah dan tinggal bekas-bekasnya di daerah Pematang Patung di Parit Basar Garis, km 21 sekarang.36 “... Kata Pangeran Samudera merakak andika Tumenggung tombak kula atau pedang kula, karana dahulu sampiyan kasini, sampian masih handak membunuh kula, sakian ulun tuluskan karsa andika, tapi kula tiada handak durhaka pada andika, karna kula tiada lupa akan andika itu akan ganti ibu bapa kula, sekarang mau andika bunuh kalaf, maka Pangeran Tumenggung mendengar demikian itu maras hatinya serta ia menangis pedang dan perisai dilepaskannya, maka ia lumpat pada perahu Pangeran Samudera itu serta mamaluk mencium Pangeran Samudera.37
Dengan kemenangan Pangeran Samudera atas Pangeran Tumenggung dan diangkutnya rakyat Daha ke Banjarmasin, maka muncullah kota baru di Banjar. Pangeran Samudera yang sebelumnya telah memeluk agama Islam sebagai suatu persyaratan atas bantuan kerajaan Islam Demak, telah mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah, yang makamnya terletak di Kuwin Banjarmasin. Setelah meninggal terkenal namanya sebagai Penambahan Batu Habang.
35 J.J. Ras, op.cit., hal. 430. 36 M. Idwar Saleh, Banjarmasih, Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981/1982, hal. 24. 37 Depdikbud, op.cit., hal. 96.
Timbul pertanyaan kapan Banjarmasin didirikan ? Beberapa sarjana mencoba menjawab pertanyaan ini. Dr. Eisenberger menyebutkan tahun berdirinya Banjarmasin tahun 1595. Encyclopaedie van Nederlands-Indie menyebutnya tahun 1520. Colenbrander dalam bukunya “Koloniale Geschiedenis” juga menyebutkan tahun 1520. Sedangkan J.J. Ras menegaskan bahwa Banjarmasin sebagai keraton ke-3 yang didirikan dengan bantuan Demak, terjadi sebelum abad ke- 16.38 Pendapat Dr. Eisenberger bahwa Banjarmasin didirikan dalam tahun 1959, tidak dapat diterima, karena historis tidak mendukung, dengan alasan sebagai berikut :
a. Apabila kerajaan Islam Demak dianggap sebagai kerajaan yang membantu berdirinya kerajaan Banjarmasin, maka tak mungkin tahun berdirinya Banjarmasin tahun 1588, tauhn itu kerajaan Demak sudah tak ada lagi.
b. Menurut sumber Belanda, bahwa Belanda menyerang Banjarmasin dalam tahun 1612 dan membakar Banjarmasin, mengakibatkan pusat kerajaan dipindah ke Kuliling Benteng, kemudian ke Batang Mangapan dan ke Batang Banyu hulu sungai Martapura. Peristiwa penyerangan ini menurut Hikayat Banjar terjadi pada saat pemerintahan Sultan Musta’in Billah, sultan ke-4 dari kerajaan Banjarmasin.
c. Kalau pendapat Dr. Eisenberger itu benar maka antara tahun 1588 sampai tahun 1612, yaitu selama 24 tahun ada empat orang raja yang memerintah Banjarmasin, yaitu : Sultan Suriansyah, Sultan Rahmatullah, Sultan Hidayatullah dan Sultan Musta’in Billah.
Jangka hanya 24 tahun tidak mungkin hidup antara datu dengan buyut, dimana buyut sudah dewasa dan sudah menjadi Sultan.39 Ketika tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka muncullah kerajaan Islam Aceh, Demak dan Ternate sebagai lawan baru Portugis. Kerajaan Islam Demak memahami bahaya datangnya Portugis ini, karena itu pada tahun 1524 dikirim pasukan ke Jawa Barat dibawah pimpinan Falatehan dan berhasil menaklukkan Banten Girang dan selat Sunda dikuasai. Pada tahun 1527 Falatehan merebut Sunda Kelapa serta memukul mundur Portugis, dan timbullah kenyataan bahwa Portugis tidak berani berlayar melalui jalur Laut Jawa. Tahun 1527 didirikan kota Jakarta oleh Falatehan. Baru ketika Sultan Trenggana tewas pada tahun 1546 ketika mengepung Pasuruan, Portugis kembali menggunakan jalan lama ke Maluku dan berkedudukan di Gresik.
40 38 M. Idwar Saleh, loc.cit . 39 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 80-81. 40 BHM. Vlekke,
Nusantara, A History of Indonesia,
Les Editins A Manteau SA. Bruxelles, 1961, hal. 88.
Apabila tahun 1521 Demak menyerang Majapahit, 1524 menyerang dan menaklukkan Banten Girang, 1527 menyerang dan menaklukkan Sunda Kelapa, maka pengiriman armada bantuan pasukan ke Banjarmasin, harus terjadi pada tahun 1526.41Berdirinya Banjarmasin pada tahun 1526 hal itu berarti pula :
a. Hari kemenangan Sultan Suriansyah, cakal bakal raja-raja kerajaan Banjar.
b. Hari diserahkannya regalita kerajaan Daha, dan dirajakannya Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah oleh Pangeran Tumenggung.
c. Hari ketentuan Banjarmasin menjadi ibu kota seluruh kerajaan Banjar, sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat penyiaran agama Islam dan mata rantai baru dalam menghadapi penetrasi Portugis di Laut Jawa.
Seluruh penduduk Negara Daha diangkut ke Banjarmasin, kecuali 1.000 orang yang tinggal menjadi rakyat Pangeran Tumenggung dan berdiam di daerah Alai. Negara Daha kosong dan hilang ditelan masa, dilupakan orang tempat pusatnya yang sebenarnya dan sungaipun mati tertutup lumpur. Perubahan kebudayaan yang hebat lebih terasa dengan masuknya agama Islam. Kerajaan Banjar sebagai kerajaan yang rakyatnya beragama Islam, berhasil menghancurkan kerajaan Hindu dari Negara Daha. Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya. Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan itu di Kalimantan Selatan sebelumnya. Banjarmasin didirikan di daerah suku Ngaju, sebagian pegawai kerajaan adalah orang Ngaju. Amalgamasi kebudayaan Banjar sesudah itu menjadi lebih luas dengan perpaduan inti kebudayaan
Ngaju, Melayu, Jawa, Maanyan, Bukit Akulturasi ini berjalan dengan damai dan melahirkan
kelompok Banjar yang bercirikan
agama Islam , bahasa Banjar sebagai pengganti bahasa ibu dengan adat istiadat walaupun masih bersifat tradisional, menganggap diri superior dari kebudayaan Kaharingan yang ada. Banjarmasih atau kampung suku Melayu (banjar = kampung; masih = orang Melayu) sebenarnya terletak diantara sungai-sungai : - Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin, dengan, - Sungai Kuyin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran). Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat pada bertemu, membuat danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibu kota kerajaan Banjar.
41 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 25-26.
42 Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk Daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan, Sitiluhur dan Paseban. J.J. Ras berpendapat bahwa Banjarmasin itu berarti “Banjar on the coast” ,43 tetapi M. Idwar Saleh berbeda pendapat, bahwa Banjarmasin itu jelas berarti “Kampung Oloh Masih”
atau kampung Orang Melayu.44Gambaran tentang kota Banjarmasin sebagai ibu kota Kerajaan Banjar menurut hasil penelitian M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut : Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan
sungai Jagabaya , daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton . Istana Sultan Suriansyah berupa rumah bubungan tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk betang
dengan bahan utama dari pohon ilayung. Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban. Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur. Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja. Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah . Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas air tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan Orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air. Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap tahun Senin atau Senenan. Di Sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap. Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal
di lanting-lanting , dan sebagian lagi tinggal di betang didarat. Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah. Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan.45
42 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 40. 43 J.J. Ras, op.cit., hal. 533. 44 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 2. 45 J.J. Ras, op.cit., hal. 438.
Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah lanting atau rumah rakit hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu atau pelupuh dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi.46 Kedua macam berita ini menjelaskan kepada kita bahwa, apa yang diberitakan masa dinasti Ming adalah rumah-rumah penduduk di atas rakit yang banyak terdapat di sepanjang sungai. Sedangkan apa yang diberikan oleh Valentijn adalah rumah-rumah betang dari suku Dayak Ngaju. Menurut Willy kota Tatas terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya
dihubungkan dengan titian . Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah lanting sepanjang sungai. Rumah lanting itu diikat dengan tali rotan pada sebuah pohon besar di tepi sungai.47 Hal-hal ini semua menggambarkan tentang kebudayaan sungai dan rawa di sekitar kota Banjarmasin. Gambaran kebudayaan sungai dan rawa ini dimulai sejak abad ke- 16 dan masih terlihat sampai abad ke- 20.
b. Raja-Raja Kerajaan Banjar
Sejak berdirinya kerajaan Banjar pada 24 September 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan saat lenyap kerajaan Banjar tahun 1905 , terdapat 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah (1526-1545), raja pertama yang memeluk agama Islam, dan raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman yang meninggal dalam pertempuran melawan Belanda di Menawing – Puruk Cahu dalam tahun 1905. Kerajaan Banjar runtuh sebagai akibat kalah perang dalam Perang Banjar (1859-1905), yang merupakan perang menghadapi kolonialisme Belanda. Sultan Suriansyah sebagai sebagai raja pertama berkeraton di Kuwin Utara sekarang yang dijadikannya sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, sedangkan raja terakhir Sultan Mohammad Seman berkeraton di Menawing-Puruk Cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian dalam rangka menyusun kekuatan untuk melawan kolonialisme Belanda.
46 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 42. 47 M. Idwar Saleh, loc.cit.
Raja-raja Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar sampai lenyapnya secara terperinci adalah sebagai berikut :
1. 1526 – 1545 Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, raja pertama yang memeluk agama Islam.
2. 1545 – 1570 Sultan Rahmatullah.
3. 1570 – 1595 Sultan Hidayatullah.
4. 1595 – 1620 Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan, yang dikenal sebagai Pangeran Kacil. Sultan inilah yang memindahkan keraton ke Kayutangi Martapura, karena keraton di Kuwin hancur di serang Belanda pada tahun 1612.
5. 1620 – 1637 Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.
6. 1637 – 1642 Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah.
7. 1642 – 1660 Adipati Halid (Pangeran Tapesana) memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
8. 1660 – 1663 Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan, 1663. Pangeran Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke Banjarmasin, sekitar Sungai Pangeran sekarang, Pemerintahan Martapura dipegang kembali oleh Adipati Tuha samapi 1666.
9. 1663 – 1679 Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.
10. 1680 – 1700 Amirullah Bagus Kesuma merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.
11. 1700 – 1734 Sultan Hamidullah gelar Sultan Kuning.
12. 1734 – 1759 Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah Bagus Kesuma bergelar Sultan Tamjidillah menggantikan Pangeran Muhammad Aminullah anak Sultan Kuning yang belum dewasa.
13. 1759 – 1761 Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning.
14. 1761 – 1801 Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.
15. 1801 – 1925 Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidullah.
16. 1825 – 1857 Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman.
17. 1857 – 1859 Pangeran Tamjidillah.
18. 14-03- 1862 Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu’mina.
19. 1862 – 1905 Sultan Muhammad Seman.
c. Kerajaan Banjar, Urang dan Bahasa Banjar
Sultan Suriansyah adalah raja pertama dari Kerajaan Banjar dan raja pertama yang memeluk agama Islam. Agama Islam merupakan agama negara dan menempatkan kedudukan para ulama pada tempat yang terhormat dalam negara. Kedudukan agama Islam sebagai agama negara terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah yang mengeluarkan Undang-Undang negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Dalam Undang-undang itu jelas terlihat hampir pada setiap pasal-pasalnya bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum Islam. Karena itulah kerajaan Banjar disebut sebagai kerajaan Islam, karena itu pulalah urang Banjar dikenal sebagai orang yang beragama Islam. Kerajaan Banjar adalah kerajaan terakhir yang pernah ada di daerah Kalimantan Selatan. Kerajaan tertua yang pernah ada adalah kerajaan Tangjungpura atau Tanjungpuri , sebuah kerajaan migrasi orang-orang Melayu dengan membawa unsur kebudayaan Melayu dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi. Banyak pendapat yang berbeda tentang dimana lokalisasi kerajaan Tanjung Pura ini. Salah satu diantara pendapat itu adalah bahwa pusat kerajaan Tanjungpura itu adalah kota Tanjung ibu kota Kabupaten Tabalong sekarang.48 J.J. Ras menyebutkan bahwa Tanjung merupakan sebuah daerah tempat migrasi melayu yang pertama ke Kalimantan. Mpu Prapanca menyebutkan dalam Negarakartagama (1365) dengan nama Nusa Tanjung Negara dan ini identik dengan Pulau Hujung Tanah, dengan kota terpenting adalah Tanjungpuri. Pada bagian lain Mpu Prapanca menyebutkan pula nama Bakulapura adalah nama lain dalam bahasa Sanskerta untuk menyebutkan nama Tanjungpura. Kalau kerajaan Tanjungpura merupakan migrasi Orang Melayu Sriwijaya, hal ini berarti pula bahwa ke daerah ini telah masuk unsur kebudayaan agama Budha sebagai agama dari kerajaan Sriwijaya. Migrasi Melayu ke Kalimantan diperkirakan antara abad ke- 12 – 13 Masehi. Pada abad ke- 13 muncul pula kerajaan Negara Dipa yang kemudian diganti oleh Negara Daha. Negara Dipa berlokasi di sekitar Amuntai
sedangkan Negara Daha berlokasi sekitar Negara sekarang. Kedua kerajaan ini
bercorak Hindu dengan peninggalan Candi Agung dan Candi Laras. Negara Dipa merupakan kerajaan migrasi dari Jawa Timur sebagai akibat dari peperangan antara
Ken Arok dengan raja Kertajaya yang dikenal dengan Perang Ganter.49Dalam abad ke- 16 muncul perkembangan baru dengan lahirnya kerajaan Banjar yang bercorak Islam di Kalimantan Selatan. Kerajaan Banjar berkembang pesat sampai abad ke- 19 merupakan kerajaan Islam merdeka dengan nation baru bangsa Banjar sebagai sebagai warganegara dari sebuah kerajaan (1859 – 1915) maka bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka juga ikut lenyap, dan turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan kemudian dikenal sebagai
Urang Banjar atau Orang Banjar.
48 J.J. Ras, op.cit., hal. 191.
50 Urang Banjar atau Orang Banjar atau etnik Banjar adalah nama untuk penduduk yang mendiami daerah sepanjang pesisir Kalimantan Selatan, Tengah, Timur dan Barat.51 Memang masih menjadi permasalahan apakah Urang Banjar itu merupakan etnik atau hanya group saja. Urang Banjar itu setidak-tidaknya terdiri dari
etnik Melayu sebagai etnik yang dominan, kemudian ditambah dengan unsur Bukit, Ngaju dan Maanyan . Perpaduan etnik lama kelamaan menimbulkan perpaduan kultural. Unsur Melayu tampak sangat dominan dalam bahasa Banjar, bahasa yang dipakai oleh Urang Banjar. Kata “Banjarmasin”
sendiri berasal dari unsur bahasa Melayu yaitu banjar berarti kampung dalam bahasa Melayu, dan kata masih, adalah sebutan terhadap Orang Melayu dalam bahasa Ngaju. Jadi
“Banjarmasih” adalah sebutan
perkampungan Orang Melayu
dalam ucapan bahasa Ngaju. Kata Banjarmasih inilah yang kemudian menjadi Banjarmasin. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu disimak dari kesejarahan kerajaan Banjar:
(1) Bahwa jauh sebelum abad ke- 16 sebelum kerajaan Banjar berdiri, masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Tanjungpura. Masyarakat Banjar telah melembaga sebagai sebuah kelompok sosial budaya.
(2)Kedua, bahwa dalam tata kehidupan masyarakat Banjar telah dikenal sistem kehidupan politik.
Urang Banjar sebagai sebuah kelompok sosial budaya menggunakan bahasa Banjar
sebagai bahasa kelompok. Bahasa Banjar mengambil sebagian besar kosa katanya dari kosa kata bahasa Melayu. Disamping itu dijumpai pula sejumlah kata yang sama atau mirip dengan bahasa Jawa dan bahasa-bahasa Dayak seperti bahasa Ngaju, Maanyan
dan Deyah dan hanya sedikit kosa kata yang tidak dapat dikembalikan ke bahasa lain dianggap unsur asli. Oleh karena secara kwantitatif kosa kata Melayu lebih menonjol pada bahasa Banjar maka ia digolongkan dialek Melayu.52 Para peneliti Belanda dan Jerman, istilah Melayu untuk penduduk Kalimantan dioposisikan dengan istilah Dayak, dengan dasar pengelompokan “Islam”
dan “Non Islam”. Kelompok Islam diidentifikasikan sebagai Melayu. Dengan dasar ini bahwa Urang Banjar dengan
bahasa Banjarnya adalah kelompok campuran unsur Melayu, dan suku-suku Dayak yang ada di daerah ini. Peranan dan fungsi bahasa Banjar sebagian lingua franca
bagi para penutur puluhan bahasa daerah di wilayah Kalimantan bagian selatan, tengah, timur dan barat sudah lama dikenal. (Dr. Durdje Durasid, paper). Secara diagronis bahasa Banjar dan bahasa Dayak Ngaju sudah lama diketahui para linguis sebagai anggota kerabat rumpun Astronesia, sub-sub kelompok Austronesia Barat yang dihipotesikan berbeda.
49 A. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah, Lambung Mangkurat University Press, Banjarmasin, 1989, hal. 35. 50 A. Gazali Usman, ibid., hal. 3. 51 J. Mallinckrodt, Het Adatrecht van Born e o, 2 vols, Dubbeldeman, Leiden, 1928, hal. 48. 52 Djantera Kawi, “Kata Kognat Banjar- Jawa Kuno”, Makalah pada Diskusi Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.
Sub-sub kelompok yang menurunkan bahwa Banjar dihipotesikan sebagai proto Bahasa Barito .53 Proto bahasa Melayu menurunkan Bahasa Seloka, Minangkabau, Jakarta dan Serawak. Proto bahasa Barito selain menurunkan bahasa Dayak Ngaju, juga menurunkan bahasa Maanyan, Pasir dan Tunjung. Penduduk Propinsi Kalimantan Selatan 90% penutur bahasa Banjar. Kebanyakan penutur bahasa Banjar merupakan ekabahasawan. Penutur bahasa Dayak Ngaju merupakan penutur bahasa tersebar dari beberapa bahasa yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah diperkirakan 50% dari jumlah penduduk. Bahasa Dayak Ngaju tersebar luas di propinsi itu terjadi karena bahasa Dayak Ngaju merupakan lingua franca bagi beragam bahasa Dayak yang ada di Kalimantan Tengah. Bahasa Banjar tersebar luas di Kalimantan Tengah sebagai bahasa ketiga yang sangat dikenal mengikuti penyebaran Orang Banjar yang hampir dapat dijumpai di semua pelosok Kalimantan Tengah sebagai pedagang ulet dan perantau yang tangguh
(budaya madam) . Bahasa Banjar menjadi bahasa kedua hampir pada semua ibukota kabupaten termasuk ibukota propinsi Palangkaraya. Bahasa Banjar dipakai sebagai bahasa berkomunikasi di pasar-pasar dan juga dalam pertemuan resmi. Situasi ini menimbulkan kedwibahasaan bagi penutur bahasa Dayak. Sikap penutur bahasa Dayak berbeda dengan sikap penutur bahasa Banjar yang kebanyakan ekabahasawan
(hanya menguasai bahasa Banjar saja). Dalam penutur bahasa Bakumpai dan penutur bahasa Baamang (Sampit) terdapat penggunaan bahasa yang bersifat diglosia,
yaitu masyarakat penutur bahasa itu menggunakan bahasa Banjar dan bahasa daerahnya dalam pilihan situasi tertentu. Bahasa Banjar digunakan dalam hubungan dagang di pasar dan bersifat resmi dan antar suku, sedangkan bahasa daerah, Bakumpai dan Baamang digunakan pada situasi yang bersifat kekeluargaan dan tradisional. Situasi diglosia itu dalam masyarakat penutur bahasa Bakumpai dan Baamang seimbang bahkan menurut pengamatan Dr. Durdje Durasit penutur bahasa Bakumpai lebih lancar berbahasa Banjar dari pada berbahasa Bakumpai. Kedudukan bahasa Banjar cukup istimewa dalam masyarakat penutur bahasa Dayak di Kalimantan Tengah dan Selatan menjadi sangat penting.
53 Alfred B. Hudson, Padju Epat, The Ethnography and Social Structrure of a Maanyan Dayak Group in South Eastern Borneo , 1967 ; Durdje Durasit, “Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak Ngaju”, Makalah pada Diskusi Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.
Begitu pula pemakaian bahasa Banjar di Propinsi Kalimantan Timur karena bahasa Banjar dikenal luas di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong dan sebagian penduduk Kabupaten Kutai.54 Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Banjar seperti bahasa daerah lainnya di Indonesia, berfungsi sebagai :
a. lambang kebangsaan daerah,
b. lambang identitas daerah,
c. alat perhubungan di dalam keluarga, dan
d. alat berkomunikasi dengan pelbagai masyarakat yang ada di Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur.
Penutur bahasa Banjar pada umumnya juga penutur bahasa Indonesia yang kebetulan struktur dan kosa katanya memiliki banyak persamaan.55
4. Sistem Pemerintahan Kerajaan Banjar
a. Sistem politik dan pemerintahan pada masa pertumbuhan kerajaan Banjar .
Masyarakat Banjar sebagaimana masyarakat tradisional lainnya memiliki/ mengenal dua tingkatan kelas dalam masyarakat. Kelas atau golongan mayoritas dalam masyarakat merupakan kelas yang terbawah terdiri dari : petani, nelayan, pedagang dan sebagainya yang disebut :
orang jaba . Golongan terkecil adalah merupakan kelas penguasa yang memiliki semua hak, yaitu hak dalam politik, mereka terdiri dari famili kerajaan, keluarga dari raja yang dikenal sebagai
golongan bangsawan. Golongan ini menempati posisi teratas dalam struktur sosial. Termasuk dalam golongan ini adalah para bangsawan rendahan. Pemimpin-pemimpin agama Islam, juga merupakan kelompok penguasa tingkat atas yang mengatur semua kegiatan para pedagang, rakyat umum dan para petani di dalam negeri. Penempatan golongan pemimpin agama pada tempat teratas ini didasarkan pada ketetapan bahwa agama Islam merupakan agama resmi dari negara yang memimpin manusia ke jalan yang benar. Ketika Pangeran Samudera pertama kali mengatur organisasi kerajaan/negara, kegiatan pertama yang dilakukannya ialah tidak memilih jabatan mangkubumi dari golongan bangsawan 54 Durdje Durasit, loc.cit. famili kerajaan, tapi dipilih orang biasa yang cakap dan mempunyai kemampuan dan dedikasi yang tinggi terhadap negara.
55 Darmansyah, “Bahasa Banjar dan Bahasa Maanyan”, Makalah pada Diskusi Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.
Orang pertama yang dipilih ialah dari dari rakyat umum ialah Patih Masih. Patih Masih menjabat jabatan yang tertinggi dalam negara sebagai mangkubumi. Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari negara Daha sampai Banjarmasin dari :
1. Sekar Sungsang
2. Sukarama, mertua Ratu Lemak.
3. Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri
4. Pangeran Tumenggung
5. Raden Samudera
Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar Sungsang
usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Negara Daha, dan Raden Samudera
usurpator kedua adalah pembangun dinasti Banjarmasin. Dalam hal ini jabatan Mangkubumi yang biasanya dijabat oleh seorang keluarga paling dekat dari raja yang biasanya mendatangkan malapetaka bagi kerajaan. Mangkubumi biasanya adalah saudara raja, mertua, paman dan mertua raja sekaligus juga adalah paman dari raja. karena jabatan mangkubumi merupakan jabatan tertinggi dalam negara dan mempunyai kedudukan dalam struktur keluarga tertinggi, sehingga mangkubumi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam segala tindak tanduk raja. Dalam hal ini kalau raja lemah, adalah mudah sekali terjadi kup. Inilah suatu pengalaman yang dialami oleh Raden Samudera oleh pamannya sendiri Pangeran Tumenggung, yaitu mulanya menjabat mangkubumi.
Patih sebagai mangkubumi dibantu oleh 4 orang deputi, yaitu :
a) Pangiwa,
b) Panganan,
c) Gampiran atau Gumpiran, dan
d) Panumping Dibawah Gampiran,
Panumping terdapat 30 wilayah Mantri ( captain).
Keempat deputi ini juga berwenang sebagai hakim. Dalam usaha untuk mengembangkan pelabuhan dan berusaha menjadikan Banjarmasin menjadi sebuah bandar, raja mengangkat seorang penguasa pelabuhan, sebagai kepala bea cukai dengan jabatan yang disebut
Kiai Palabuhan . Jabatan ini kemudian berbeda dengan jabatan syahbandar yang mempunyai fungsi yang sangat besar yang dapat bertindak sebagai wakil raja dalam kegiatan perdagangan dengan pedagang-pedagang luar negeri.
Masa-masa Sultan Suriansyah, Kiai Palabuhan yang disebut sebagai Mantri Bandar mempunyai anak buah 100 (seratus) orang untuk menjalankan kegiatan pemungutan bea cukai pelabuhan. Mantri Tuhabun dengan gelar pangkatnya :
andakawan ( The Captain of The Tuhabun corps) mempunyai anggota 40 orang. Tugasnya untuk melayani raja, para famili raja seperti antara lain sebagai regu pengayuh perahu ketangkasan raja. Untuk menjaga keamanan terdapat dua orang kepala
Singabana yang terdiri dari :
a) Singantaka, dan
b) Singapati.
Pada masa Sultan Suriansyah, jabatan tertinggi adalah
Mangkubumi yang dijabat oleh
Patih Masih. Panganan dijabat oleh Patih Balitung , Pangiwa
dijabat oleh Patih Balit,
Gumpiran atau Gampiran oleh
Patih Kuin , dan Panumping dijabat oleh Patih Muhur.
Sesudah lenyapnya Negara Daha raja Banjar mengangkat patih tertua Aria Taranggana dari Negera Daha sebagai Mangkubumi. Mangkubumi mempunyai wewenang dalam masalah administrasi negara untuk mengurusi seluruh wilayah negara, dan mempunyai wewenang untuk menentukan keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Disamping itu, Mangkubumi juga mempunyai wewenang dari segala hak penyitaan segala harta benda yang dijatuhi hukuman. Wewenang seperti ini berlaku sampai permulaan abad ke-17. Keempat deputi yang terdiri dari Panggiwa, Panganan, Gampiran dan Panumping , yang masing-masing dijabat oleh :
Patih Balit, Patih Balitung, Patih Kuin dan Patih Muhur berwenang juga sebagai jaksa dan hakim, tetapi segala keputusan mereka benar atau salah selalu berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku saat itu yang terhimpun dalam sebuah kodifikasi hukum yang disebut
Kutara , yang disusun oleh Aria Taranggana ketika dia menjabat Mangkubumi kerajaan. Disamping jabatan-jabatan di atas terdapat lagi jabatan : Mantri Besar yang mempunyai tugas khusus yaitu bertugas sebagai duta kerajaan di daerah ataupun ke luar daerah kerajaan. Dari periode raja pertama Sultan Suriansyah sampai dengan Sultan Inayatullah atau Ratu Agung (1620-1637), orang-orang yang pernah menjabat sebagai mangkubumi adalah :
1. Patih Aria Taranggana.
2. Kiai Anggadipa
3. Kiai Jayanegara, dan
4. Kiai Tumeggung Raksanegara
Suatu tradisi sejak raja pertama kerajaan Banjar, raja diganti oleh puteranya, sedangkan jabatan mangkubumi, sebagai jabatan tertinggi setelah raja, tidak dari darah bangsawan, tapi dari rakyat umum, yang bertindak sebagai “King viceregent”. Mangkubumi juga sebagai hakim tertinggi yang keputusan tertinggi dalam seluruh wilayah kerajaan dalam segala hal masalah. Saudara raja dapat menjadi : adipati dan menyertai raja atau membantu raja, tapi mereka adalah orang kedua setelah Mangkubumi. Pada masa pemerintahan Marhum Panambahan Kacil (1595-1620) kaum bangsawan mempunyai gelar Raden dan Pangeran dan selalu ikut serta dalam segala sidang negara membicarakan masalah negara. Pada masa itu jabatan-jabatan dalam negara terdapat jabatan : Mangkubumi, Mantri Pangiwa-Panganan, Mantri Jaksa, Tuan Panghulu, Tuan Khalifah, Khatib, Para Dipati, Para Pryai. Masalah-masalah yang menyangkut bidang agama Islam dibicarakan dalam suatu rapat/musyawarah yang terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu yang memimpin pembicaraan adalah Penghulu. Masalah-masalah yang menyangkut hukum sekuler yang disebut
hukum dirgama, dibicarakan oleh rapat yang terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Yang memimpin adalah Jaksa. Masalah yang menyangkut tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan raja, Mangkubumi dan Dipati. Jabatan Panghulu mempunyai status yang tinggi dalam negara. Dalam hierarki struktur negara, kedudukan Panghulu adalah dibawah Mangkubumi, dan jabatan Jaksa adalah di bawah Panghulu. Hal ini berlaku pula dalam tata aturan negara dalam suatu sidang negara. Urutannya adalah Raja, Mangkubumi, kemudian Panghulu dan setelah Panghulu adalah Jaksa. Hal ini berlaku pula kalau Raja berjalan. Dalam suatu urutan kalau Raja berjalan, setelah raja adalah Mangkubumi, dibelakang Mangkubumi adalah Panghulu dan kemudian Jaksa. Kewenangan Panghulu adalah lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah yang menyangkut agama, sedangkan Jaksa mengurusi masalah yang menyangkut dunia. Para Dipati, yang biasanya terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem politik dan pemerintahan seperti ini berlangsung sejak pemerintahan pertama dari kerajaan Banjar sampai masa Sultan Musta’in Billah pada permulaan abad ke- 17. Secara lengkap Sistem Politik dan Pemerintahan kerajaan Banjar itu adalah sebagai berikut :
1. Raja, bergelar Sultan atau Panambahan.
2. Mangkubumi . Anggota dibawah Mangkubumi :
Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, Seorang Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
3. Lalawangan, kepala distrik, kedudukannya sama dengan kepala distrik pada masa penjajahan Belanda.
4. a. Sarawasa, b. Sarabumi
(Kepala Urusan keratin) c.
Sarabraja
5. a. Mandung, b. Raksayuda (Kepala Balai Longsari, Bangsal dan Banteng)
6. Mamagarsari , Pengapit raja duduk di Situluhur
7. a. Parimala , Kepala urusan dagang dan pakan (pasar). b. Singataka , Pembantu c.
Singapati , Pembantu
8. a. Sarageni , Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur) b. Saradipa duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
9. Puspawana , Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, berburu
10. a. Pamarakan ) Pengurus umum tentang keperluan pedalaman b. Rasajiwa ) dan pedusunan
11. a. Kadang Aji ) Ketua Balai petani dan Perumahan b.
Nanang , Pembantu
12. Wargasari , Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
13. Anggarmarta , Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
14. Astaprana , Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
15. Kaum Mangkumbara , Kepala urusan upacara
16. Wiramartas , Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
17. Bujangga , Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
18. Singabana , Kepala ketenteraman umum.
Sistem pemerintahan ini mengalami perubahan khususnya pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah pada permulaan abad ke-19. Perubahan itu meliputi jabatan :
1. Mufti , Hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2. Qadi , Kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu , Hakim rendah
4. Lurah , Langsung sebagai pembantu Lalawangan dan mengamati pekerajaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, bilal dan Kaum.
5. Pambakal , Kapala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
6. Mantri , Pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7. Tatuha Kampung , orang yang terkemuka di kampung.
8. Panakawan , orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
56Jabatan Mangkubumi adalah jabatan urutan kedua setelah Sultan. Pada abad ke- 18 jabatan Mangkubumi disebut pula dengan sebutan
Perdana Mantri yaitu pada masa pemerintahan Sunan Nata-Alam (Sultan Tahmidullah), tetapi disebut pula dengan sebutan Wazir. Jadi Mangkubumi, Perdana Mantri dan Wazir adalah jabatan eselon yang sama. Putera Mahkota yang merupakan calon resmi pengganti Sultan kalau sultan meninggal atau mengundurkan diri, pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah disebut Ratu Anum, dan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah disebut Sultan Muda. Sebutan Ratu Anum kadang-kadang juga dikacaukan dengan sebutan untuk Mangkubumi, seperti Pangeran Dipati Ratu Anum Ismail, adalah seorang Perdana Mantri pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah. Sebutan kehormatan untuk Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan, sedang untuk sebutan Gubernur Jenderal VOC hanya disebut dengan :
Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal. Sebutan untuk permaisuri hanya disebut Ratu. Sebutan Sunan sebagai pengganti sebutan sultan hanya pernah dipakai oleh Sultan Tahmidullah dengan sebutan Sunan Nata Alam. Sebutan Ratu tidak selamanya harus permaisuri tetapi juga sebutan untuk sultan, seperti
56 Amir Hasan Kiai Bondan,
Suluh Sedjarah Kalimantan , Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 149-150.
Sultan Inayatullah yang bergelar Ratu Agung (1620-1637). Sebutan Panembahan pernah diberikan kepada :
a. Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang
b. Sultan Rahmatullah dengan gelar Panembahan Batu Putih
c. Sultan Hidayatullah dengan gelar Panembahan Batu Irang
d. Sultan Musta’in Billah dengan gelar Panembahan Marhum
e. Sultan Tahlilullah dengan gelar Panembahan Tingi
f. Sultan Tahmidullah yang bergelar Susuhunan Nata Alam, juga bergelar: Panembahan Batu, Panembahan Ratu, dan Panembahan Anum.
b. Pergeseran Sistem Politik dan Pemerintahan Dalam Abad ke-17
Selama kekuasaan Sultan Musta’in Billah sistem politik dan pemerintahan negara menjadi lebih kompleks. Seperti telah dijelaskan di muka, Mangkubumi bertindak sebagai “King Viceregent”
mempunyai 4 deputi dan 4 hakim untuk memecahkan masalah hukum. Dalam kasus masalah sekuler yang mempunyai wewenang pertama adalah : para hakim, raja, para deputi dan terakhir Mangkubumi yang memberikan pendapat. Dalam kasus masalah negara, termasuk hubungan luar negeri, monopoli perdagangan, serta mengadakan kontrak perdagangan dengan luar negeri, diselesaikan oleh Mangkubumi dan para Dipati, dalam hal ini raja mempunyai kata terakhir. Tradisi untuk menyelesaikan masalah negara berkembang menjadi suatu sistem yang kemudian menjadi suatu institusi yang paling berwewenang yang disebut Dewan Mahkota (The Royal Council). Sesudah kematian Ratu Agung bin Sultan Musta’in Billah (1637), penggantinya adalah Ratu Anum yang bergelar Sultan Saidullah. Selama masa pemerintahannya dia sebetulnya Menjadi raja boneka belaka, sebab wewenang kekuasaan politik negara dan pemerintahan dipegang oleh pamannya Pangeran Di Darat, sebagai orang yang paling berkuasa yang menguasai seluruh pemerintahan, Ketika Pangeran Di Darat meninggal, jabatan itu digantikan oleh Dipati Tapesana yang mengambil gelar : Dipati Mangkubumi yang bertindak sebagai raja (temporary-King).
Sejak Pangeran Di Darat menjabat Mangkubumi, sejak itu pula jabatan Mangkubumi, jabatan yang tertinggi dalam negara tidak pernah lagi dijabat oleh rakyat umum, tetapi merupakan jabatan monopoli oleh keluarga kerajaan, yaitu paman, saudara tertua, mertua atau paman yang juga menjadi mertua dari raja. Sejak pertengahan abad ke- 17, kita melihat pertumbuhan dari kekuatan baru dalam konflik dengan elemen-elemen golongan kerajaan yang mendominasi, yang mempunyai monopoli kekuasaan dalam bidang politik dan perdagangan, yang mempengaruhi pada masa selanjutnya. Hal ini pertama kali dimulai pada suatu gerakan yang tidak pernah berakhir pada golongan tingkat atas dari masyarakat Banjar, yaitu perebutan perampasan kekuasaan
(usurpation), persaingan kekuasaan, tipu daya (intrik)
dan faham mengutamakan golongan sendiri (factinalism)
menjadi sangat lemah dan terjadinya kekacauan sebagai suatu akibat selanjutnya. Abad ke- 17 adalah masa memuncaknya perdagangan lada. Pada masa abad tersebut, perdagangan lada merupakan satu-satunya komoditi ekspor kerajaan Banjar. Perkembangan perdagangan ini meyebabkan terjadinya perubahan-perubahan politik dan pemerintahan. Para penguasa
(the ruling class) berusaha dengan cepat untuk memperoleh tanah yang lebih luas dalam bentuk tanah apanase yang dijadikan wilayah penguasaan penanaman lada. Penanaman lada ini dapat berkembang dengan didorong oleh kedatangan para pedagang dari Jawa yang membawa kapal-kapal mereka dengan modal besar. Kedatangan para pedagang ini menjadikan ramainya dunia perdagangan kerajaan Banjar. Besarnya volume perdagangan lada menyebabkan kekayaan yang melimpah bagi golongan penguasa politik dan perdagangan. Kekuasaan politik dan perdagangan merupakan haknya golongan bangsawan dan bukan hak milik rakyat. Kekayaan mendominasi karakteristik tingkah laku bagi golongan penguasa, yang merupakan penguasa politik dan perdagangan dan penguasa perkapalan. Kekayaan menyebabkan seseorang memperoleh kekuasaan politik atau mempunyai pengaruh dalam bidang politik yang mempunyai golongan penguasa, dan justru sebagai golongan penguasa akan menghasilkan kekayaan, karena penguasalah yang mempunyai monopoli dalam bidang perdagangan lada dan perkapalan. Perubahan ini menyebabkan pengaruh yang besar bagi sistem politik dan pemerintahan, karena sejak itu golongan bangsawan yang sangat kaya-kaya lebih berkuasa daripada raja. Para bangsawan atau para Pangeran bertingkah laku terhadap rakyatnya dengan menganggap dirinya sebagai penguasa raja, yang mempunyai kekuasaan absolut dalam wilayahnya. Para pangeran juga mempunyai pengaruh besar dalam perundingan-perundingan perdagangan dan kadang-kadang kepentingan para pangeran ini lebih menonjol daripada kepentingan politik negara. Bagi pedagang luar negeri terutama bangsa Belanda, kekuasaan absolut dari
golongan aristokrat ini sangat merugikan mereka. Dan itu pula sebabnya Belanda tidak dapat memperoleh hak monopoli lada dalam kontrak yang di buat saat itu. Dewan Mahkota ( The Royal Council) yang terdiri dari keluarga raja, golongan aristokrat, para pejabat tinggi, pegawai rendahan seperti Kiai mempunyai kekuasaan besar untuk menentukan situasi politik, ekonomi dan perdagangan negara. Raja tidak dapat melakukan suatu tindakan atau langkah tanpa izin atau persetujuan Dewan Mahkota terutama yang menyangkut pembicaraan dengan pedagang-pedagang asing. Dalam abad ke-17 pedagang asing yang datang dan meramaikan perdagangan kerajaan Banjar; orang Cina, Siam, Johor, Jawa, Palembang, Portugis, Inggeris dan Belanda. Komoditi perdagangan terdiri dari emas, permata, lada, cengkeh, pala camphor, kulit buaya, mutiara, rotan, besi dan lain-lain. Kerajaan Banjar mengimpor; batu akik merah, rantai akik merah, gelang, benda-benda porselen, beras, morphin, garam, gula, tawas, pakaian dan sebagainya. Aktivitas pelayaran dan perdagangan Banjar dalam abad ke- 17 melintasi sampai Cochin Cina dan Aceh. Aktivitas pelayaran dan perdsagangan ini dibiayai dengan modal para golongan penguasa (the ruling class).
Dengan pertumbuhan perdagangan dan adanya kontrak-kontrak dengan perdagangan luar negeri, memerlukan orang asing untuk menduduki jabatan syahbandar. Syahbandar adalah orang asing yang mengerti tata cara perdagangan dan memahami bahasa asing. Syahbandar pertama dari kerajaan Banjar adalah seorang Gujarat; Goja Babouw dengan gelar Ratna Diraja. Sebuah kontrak perdagangan yang diadakan antara kerajaan Banjar dengan Belanda diselesaikan melalui pengaruh tokoh Syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw dan ditanda-tangani oleh Sultan (1635).
c. Sistem politik dan Pemerintahan pada masa Sultan Adam Al Wasik Billah (1826-1857) 1) Pembagian Teritorial Kerajaan Banjar
Dalam hal ini terlihat adanya tiga jenis pembagian dalam wilayah kerajaan Banjar, meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan. Tiga jenis teritorial itu adalah :
- Negara Agung
- Mancanegara dan
- Pasisir
Istilah tanah seberang tidak dipergunakan dalam terminologi kerajaan Banjar, tapi bagaimanapun juga pembagian dengan cara ini juga diterapkan. Wilayah kerajaan Banjar, meliputi titik pusat, yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari daerah Landak ke Berau. Daerah Martapura sebagai sebuah wilayah pertama dan pusat pemerinahan di mana Sultan berada. Dalam perjalanan sejarah dapat dipelajari bahwa ketetapan wilayah tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap. Ketetapan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan ketetapan batas yang fleksibel
disebabkan oleh berkembangnya kekuasaan atau menurunnya kekuasaan Sultan dan juga pengaruh dari golongan penguasa (the ruling class) saat itu. Ketika daerah kerajaan Banjar menjadi lebih kecil dalam tahun 1787, yang hilang direbut Belanda, dan daerah ini makin berkurang pada tahun 1826 dibandingkan dengan wilayah kerajaan abad ke-17, hanya tinggal wilayah yang dihuni oleh kelompok etnik suku Banjar di bawah pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah. Sejak setelah penyerangan Belanda dalam tahun 1612 yang menyebabkan penghancuran Banjarmasin dan istana Sultan, ibu kota pindah ke Martapura. Daerah pusat kerajaan adalah Karang Intan dan Martapura, sebagai pusat Pemerintahan dan keraton Sultan.
Wilayah teritorial yang kedua terdiri dari :
1) Tanah Laut atau tanah rendah, sebelah Barat Meratus, sebelah Selatan Banjarmasin.
2) Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin.
3) Banua Ampat , yaitu daerah Banua Padang, Banua Halat, Parigi dan Gadung di daerah Rantau.
4) Margasari
5) Alai
6) Daerah Amandit
7) Banua Lima yang terdiri dari daerah Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua
8) Muarabahan dan
9) Dusun, nama umum untuk daerah atas Barito.
Teritorial ketiga terdiri dari :
1) Tanah Bumbu
2) Pulau Laut
3) Karasikan
4) Pasir,
5) Berau dan Kutai dan pantai Timur
6) Kotawaringin
7) Landak
8) Sukadana dan Sambas dan pantai sebelah Barat.
Ketiga teritorial ini dikenal sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar. Semua wilayah tersebut membayar persembahan dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan, tetapi daerah-daerah itu mengakui di bawah kerajaan Banjar, kecuali Pasir yang ditaklukkan tahun 1636 dengan bantuan armada kapal Belanda. Penanaman pengaruh Banjar terhadap daerah-daerah sebagian dilakukan melalui perkawinan politik atau dengan kolonialisasi. Politik terakhir ini dilakukan terhadap daerah Tanah Bumbu dan Kotawaringin. Dalam wilayah kerajaan Banjar seperti daerah sungai, sungai dengan cabang-cabangnya, danau, sungai di pedalaman, gunung-gunung, pegunungan. pulau di danau, sering di pergunakan sebagai indikator untuk penentuan batas wilayah. Batas alam seperti ini tetap dipergunakan dalam kontrak dengan Belanda dalam tahun 1826 (juga Contract 18 Maret 1845).
2) Struktur Politik dan Sistem Sosial
Sebagai sebuah masyarakat tradisional masyarakat Banjar, mengenal dua golongan besar. orang Jaba,
yang merupakan golongan terbesar dalam masyarakat, terdiri dari petani, tukang, pedagang, nelayan sungai; golongan teratas adalah para bangsawan dan golongan pejabat birokrasi. Sultan Adam yang berkuasa antara tahun 1826-1857 mempunyai hak prerogatif dalam masalah-masalah politik dan agama. Hal ini tertulis dalam hukum yang ditulis tahun 1835 yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Dibawah Sultan Adam dan Sultan Muda atau Pangeran Ratu dari anggota kelompok keturunan Sultan, hanya dua orang yang termasuk dalam organisasi administratif, namanya Sultan Muda dan
Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah kepala dari pusat birokrasi. Fungsi pengadilan agama dijalankan oleh : Hakim Besar, yang terdiri dari : Kepala Qadi Kepala Mufti, dan Kepala Chalifah.
Dibawah Mangkubumi adalah kelompok kepala yang dikenal sebagai Mantri yang memperoleh titel dalam tingkatan hierarkis seperti :
Adipati Tumenggung Kiai Demang Aria Ngabehi Pembakal dan
Neyarsa.
Menurut komisaris Belanda Van der Ven dalam tahun 1857, masyarakat Banjar terdiri dari 6 kelas :
1) Raja dan kaum bangsawan
2) Golongan ulama
3) Pemimpin rakyat
4) Rakyat umum
5) Orang berhutang
6) Budak
Raja merupakan hierarkis sosial
yang teratas, dan disamping sebagai kepala negara dan golongan bangsawan, juga sebagai kepala golongan famili kerajaan yang disebut :
Tutuha Bubuhan Raja-Raja. Dia menghadiahkan pada keturunannya gelar-gelar seperti : Pangeran, Gusti dan
Ratu. Dia juga memberi hak kepada mereka ini hadiah tanah dan sebagian besar dari penghasilan yang diperoleh dari tanah apanase, disamping penghasilan dari hak-hak istimewa lainnya dan hak dalam perdagangan. Bangsawan yang lebih rendah menggunakan gelar seperti :
Raden, Anden dan Nanang.
Keturunan Nanang dari Kiai Adipati Danurejo di Banua Lima mempunyai kekuasaan besar selama pemerintahan dua sultan terakhir kerajaan Banjar dan terakhir sebagai Regent Belanda selama permulaan abad ke-20. Orang-orang pimpinan terkemuka dalam birokrasi yang terendah adalah pimpinan dari rakyat, merupakan
hierarkis politik yang terbawah adalah Pambakal atau kepala kampung. Dia dibantu oleh Pangerak dan Panakawan. Beberapa kampung dapat membentuk sebuah sub-distrik, yang dipimpin oleh Lurah dan beberapa sub-distrik membentuk distrik yang dipimpin oleh Lelawangan. Tiap-tiap penduduk kampung terdiri dari satu atau beberapa kesatuan famili, yang disebut bubuhan. Ikatan adat adalah sangat kuat dan fungsi bubuhan adalah berfungsi sosial ekonomi dan faktor pertahanan. Dalam sistem bubuhan, tetuha-tetuha bubuhan adalah orang-orang pemimpin yang sangat penting dan dia sebagai tetuha memikul tanggung jawab untuk kepentingan dan kelakuan tidak senonoh dari anggota bubuhannya. Wibawa kerajaan Banjar didasari pada sistem bubuhannya, disamping legitimasi, penguasa warisan kekayaan, kehormatan dan kharisma.
3) Sistem Apanase dalam Kerajaan Banjar
Sultan mempunyai hak umum terhadap tanah, dimana dia menentukan dengan ketatapan hukumnya atas penguasaan pemilikan dan penggunaan atas tanah. Sultan juga mempunyai hak untuk mengatur produksi yang dihasilkan dari penggarapan tanah sesuai dengan adat kerajaan turun temurun. Hak untuk menetapkan produksi tanah oleh raja tersebut, sesuai dengan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal tanah apanase yang diberikan raja, kepada anak-anaknya, atau familinya, bahwa hak atas tanah yang diberikan raja, harus dilihat sebagai pemberian-penggantian gaji dan tidak seperti pengertian pembayaran keuangan atau gaji terhadap tugas mereka.
Raja sebagai Tutuha Bubuhan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk kepentingan keluarga besarnya. Tanah sebagai pembayaran gaji orang Jawa yang diberlakukan di Mataram yang kemudian disebut tanah bengkok, tidak dikenal dalam terminologi ini. Sejak tahun 1826 kerajaan Banjar hanya wilayah tanah tempat tinggal kelompok etnis suku Banjar, yang terdiri dari daerah inti dan bagian dari daerah luar Hulu Sungai dan dusun dengan pengunungan Meratus pada batas sebelah barat dan utara sejauh sumber mata air sungai-sungai Paku, Sihong dan Nappo dan Gunung Luang. Semua daerah ini yaitu daerah inti dan daerah luar dibagi dalam 2 (dua) daerah teritorial. Sebagian adalah daerah pajak milik Sultan, dan bagian lain dibagi atas daerah apanase kerajaan, diberikan kepada keluarga dekat Sultan. Daerah Sultan tersebut adalah sebagian dari Banjar, Martapura, Alai, Amandit, Benua Empat dan Banua Lima. Pajak merupakan penghasilan negara (penghasilan raja pribadi) berupa : pajak pemberian, bea, retribusi padi, pajak tanah, zakat, fitrah, retribusi emas dan tambang intan, pembuatan perahu dan buruh kerja untuk keraton. Pajak ini semua dapat dibayar dengan uang atau dalam bentuk natura. Pajak pemberian (poll-tax) ada dua jenis : a) Baktin,
yaitu pajak berupa buruh-kerja b) Nadar, yaitu pajak tanpa buruh-kerja Jumlah uang nadar adalah f 5,60 untuk pembayaran pajak yang sudah kawin, dan f 2,90 untuk yang tidak kawin perorangan. Jumlah uang baktin f 2,60 untuk yang kawin. Di luar Banua Lima pajak tersebut berjumlah f 2,-, kecuali orang-orang Martapura adalah bebas dari jenis pajak ( poll-tax ) ini. Kampung-kampung Dayak yang dihuni kelompok etnis suku Dayak berkewajiban membayar tiap tahun berupa pembayaran upeti. Buruh-kerja tidak sama untuk kategori tiap daerah, sebagai contoh : buruh-kerja untuk orang-orang Martapura terdiri hanya tenaga kerja pengayuh
“Perahu ketangkasan” raja atau famili kerajaan. Banua Lima diperintahkan untuk menyampaikan tiap tahun 200 orang laki-laki untuk kegiatan keraton dan tiap 40 orang laki-laki dari jumlah tersebut akan melakukan kewajiban dua bulan sebagai pengawal kehormatan keraton. Penduduk daerah Kandangan bertanggung jawab untuk memelihara kuda-kuda Sultan, yang dipergunakan pada musim perburuan tiap tahun dari perburuan kerajaan. Cukai retribusi untuk barang-barang adalah sepersepuluh dari harga barang-barang komoditi, kecuali garam. Retribusi padi tidak pernah dipungut tapi dalam bentuk zakat. Seluruh daerah membayar zakat, kecuali kampung-kampung suku Dayak.

Sumber : BasyairMelayuBanjar.Blogspot.com

#FolksOfBanjar #HikayatBanjar #KesultananBanjar #Banjarmasin #PatihMasih #OlohMasih #BandarMelayu #BandarMasih.

HIKAYAT BANJAR

Hikayat Banjar

Hikayat Banjar adalah Hikayat tentang Raja raja Banjar dan Raja Raja Kotawaringin

HIKAYAT BANJAR

HIKAYAT BANJAR


Hikayat Banjar adalah nama umum yang dipakai untuk menyebut kumpulan berbagai naskah-naskah tambo/babad sejarah Kesultanan Banjarmasin dan

Kerajaan Kotawaringin , Indonesia yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu. Naskah-naskah ini yang kemudian dinamakan Hikayat Banjar terdiri dari Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II. Hikayat Banjar resensi I diambil Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin serta naskah yang serupa yang lainnya, sedangkan Hikayat Banjar resensi II diambil dari

Sejarah Lambung Mangkurat , Tutur Candi , dan lain-lain.

Hikayat Banjar mengandungi sejarah raja-raja Banjar di Kalimantan Selatan dan raja-raja Kotawaringin di Kalimantan Tengah. Setelah dikelompokkan maka diketahui naskah-naskah tersebut secara garis besar terdiri dua golongan menurut alur ceritanya yang agak berbeda satu sama lain, yang dinamakan Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II.

Hikayat Banjar resensi I pada bagian akhir teks bertarikh dari 1663 atau sesudahnya; bagian awalnya adalah lebih lama. Teks ini sepanjang 4,787 baris (120 halaman). Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari segi konteks sejarah budaya dan kesusasteraan diterbitkan oleh ahli filologi Belanda Hans Ras pada 1968. Bahagian akhir Hikayat Banjar menceritakan kemelut politik di Kesultanan Banjar yaitu perebutan kekuasaan antara Pangeran Ratu,

Raden Bagus dan Pangeran Suria Nata II yang terjadi pada tahun 1663. 

Dalam Hikayat Banjar, sering digunakan

manira untuk kata ganti orang pertama dan pakanira (pakenira) Beberapa kosakata di dalam keraton Banjar yang digunakan dalam Hikayat Banjar mengacu pada istilah yang digunakan di keraton Banten, misalnya kata Siti Luhur (bahasa Jawa: Siti Hinggil ),

kamitan (kemitan), wawangkon ,

paseban dan sebagainya. Istilah Siti Luhur hanya digunakan di keraton Banjar dan keraton Banten, sedangkan di keraton Cirebon serta keraton Jawa lainnya digunakan istilah Siti Hinggil.


Cerita ini berasal dari negeri Keling. Di sana hidup seorang pedagang yang kaya raya bernama saudagar Mangkubumi. Istrinya bernama Siti Rara. Anaknya bernama Empu Jatmika. Setelah Empu Jatmika besar kemudian dia kawin dengan Sari Manguntur. Dari perkawinannya ini Empu Jatmika mendapat dua orang putra, bernama Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat. Saudagar Mangkubumi jatuh sakit ketika kedua cucunya masih remaja. Semua anggota keluarga dititahkan untuk berjaga selama 40 hari, siang dan malam. Saudagar Mangkubumi meminta supaya anak dan cucunya datang menghadap ketika beliau hampir meninggal dunia. Kemudian dia berpesan kepada anaknya Empu Jatmika supaya menjaga seluruh keluarga dengan sebaik-baiknya. Selain itu beliau berpesan agar jangan kikir dan bersikap adil terhadap setiap orang. Hendaklah anaknya menerima dan mendengar setiap permohonan orang yang datang menghadap dengan segera. Itulah kata-kata terakhir dari saudagar Mangkubumi.

Sebelumnya juga beliau berpesan supaya anaknya pergi merantau ke luar negeri Keling karena di negeri Keling ini terdapat banyak orang yang suka iri hati dan dengki. Anaknya Empu Jatmika harus mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk mengetahui hal itu hendaklah dia menggali tanah yang didatanginya, kira-kira pada tengah malam dan mengambilnya sekepal. Jika telah berhasil menjumpai daerah yang tanahnya memenuhi syarat-syarat itu, hendaklah dia menetap di sana. Karena di tempat itulah dia mendapat rahmat dan kebahagiaan. Tanaman-tanaman akan tumbuh subur. Saudagar-saudagar akan berdagang, dan negara akan terhindar dari gangguan musuh. Jika tanah itu harum tetapi dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran hanyalah sekadar saja. Baik dan buruk ada di dalam keadaan seimbang. Jika tanah itu berbau busuk dan lagi dingin, maka niscaya negara itu senantiasa ditimpa bahaya. Menderita kesukaran yang tidak putus-putusnya.

Setelah berpesan demikian, saudagar Mangkubumi menutup mata untuk selama-lamanya. Semua keluarga berduka cita, dan meratapi dengan tangis kesedihan. Untuk mengikuti kebiasaan pada zaman dahulu kala, upacara pemakaman berlangsung dengan disertai pembagian beribu-ribu lembar kain dan berpuluh-puluh ribu uang yang ditaburkan.

Mengingat akan pesan ayahnya, Empu Jatmika setuju sekali untuk meninggalkan negerinya. Dia memerintahkan hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa untuk datang menghadap. Juga Wiramartas yang merupakan seorang ahli bahasa. Wiramartas fasih dalam berbahasa Arab, Persi, Melayu, Tionghoa, dan lain-lain. Kemudian Wiramartas ditunjuk sebagai kepala dari rencana perjalanan ini.

Tidak lama kemudian, bertolaklah dari negeri Keling, armada yang berlayar dengan dipelopori oleh kapal Si Prabayaksa. Empu Jatmika terdapat dalam kapal pelopor ini. Tidak lama kemudian, armada berlabuh di sebuah pulau. Tetapi ternyata pulau itu tidaklah bertanah panas dan harum. Dengan sedikit kecewa pelayaran diteruskan. Armada kemudian berlabuh di pulau Hujung Tanah. Sementara berlabuh Empu Jatmika tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia serasa berjumpa dengan almarhum ayahanda, yang berpesan supaya mendarat di pulau Hujung Tanah. Di situlah dia akan menjumpai apa yang dicari.

Pagi-pagi benar pergilah Empu Jatmika dengan empat orang pengiringnya menuju pulau Hujung Tanah. Dia mengambil tanah di sana, dan benarlah di sini hawanya panas laksana api, harum bagai daun pudak.

Dengan batu-batu yang dibawa dari negeri Keling, dimulailah membangun sebuah candi. Kemudian didirikan pula sebuah istana lengkap dengan balairung, pendopo dan perbendaharaan. Dengan suatu upacara di dalam balairung, Empu Jatmika memberikan nama kepada negara baru itu Nagara Dipa. Dia sendiri menjadi raja di negara ini dengan gelar Maharaja di Candi.

Pada waktu itu terdapat kepercayaan kepada peribahasa: “Siapa yang tidak berdarah bangsawan, tetapi oleh karena kekayaan dapat menjadi raja, dia akan ditimpa oleh bencana. Demikian pula bencana itu akan menimpa mereka yang mengakui orang itu sebagai raja”! Oleh karena itu, Empu Jatmika membuat patung dari kayu cendana. Patung inilah yang seolah-olah dijadikan raja dan kepadanya seolah-olah diletakkan kekuasaan yang tertinggi.

Ahli-ahli tatah ukir membuat dua buah patung, yang berwujud seorang laki-laki dan seorang perempuan. Patung-patung itu dihiasi dengan seindah-indahnya dan diukup dengan dupa serta wangi-wangian kemudian diletakkan dalam candi. Setiap hari Jumat datanglah raja mengunjungi patung-patung itu. Pada suatu ketika raja menitahkan supaya Hulubalang Arya Megatsari membawa tentara 1000 orang untuk menaklukkan daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, dan Batang Pitap. Dengan kekuasaan tentara yang sama pula, berangkatlah Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Batang Alai, Batang Hamandit, dan Labuan Emas. Kedua ekspedisi ini berhasil. Semua pemimpin-pemimpin rakyat di daerah yang ditaklukkan itu dibawa menghadap raja. Mereka semua diwajibkan untuk tunduk kepada perintah kedua hulubalang. Setiap musim panen mereka haruslah menyerahkan upeti yang jumlahnya telah ditetapkan. Setelah dijamu secara mewah, semua pemimpin itu diperkenankan kembali ke daerah masing-masing, dengan perjanjian tidak akan lagi bermusuhan antarsesama mereka.

Sesudah pemimpin-pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, raja mencurahkan perhatiannya kepada keadaan istana. Segala peraturan, susunan pegawai, upacara istana disesuaikan dengan tatakrama Majapahit. Ketika semua peraturan telah tersusun dengan baik, Empu Jatmika mengirimkan armada ke negeri Keling. Di bawah pimpinan nakhoda Lampung, mereka menjemput keluarga dan harta benda yang berharga yang masih ketinggalan. Di dalam perjalanan pulang armada ini dilanda angin taufan. Kapal-kapal terserak ke sana ke mari, sebagian hanyut ke Laut Kidul. Akibatnya banyak anak buah kapal yang tewas. Sisa dari armada itu tiba kembali ke Nagaradipa dengan selamat. Para nakhoda mendapat hadiah. Di antaranya sebuah pedang yang indah permai.

Pada suatu upacara yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu, raja memberitahukan kepada Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa, keinginannya untuk mengganti patung-patung kayu yang lambat-laun telah menjadi lapuk dengan patung dari gangsa. Ketika itu raja mengetahui bahwa bangsa Tiongkok adalah bangsa yang pandai dan ahli dalam pembuatan patung gangsa. Maka beliau memutuskan untuk mengutus Wiramartas menghadap Raja Tiongkok dengan membawa bingkisan yang berharga, diantaranya terdapat 10 ekor kera jenis orang hutan.

Dengan tidak banyak mendapat kesukaran, utusan di bawah pimpinan Wiramartas itu tiba di Tiongkok. Di dalam suatu sidang resmi, Wiramartas mempersembahkan surat dari raja Negara Dipa. Seorang pandita Raja Tiongkok membacakan surat tersebut. Kemudian Raja Tiongkok menitahkan supaya memenuhi permintaan Raja Negaradipa. Kemudian Raja Tiongkok masuk ke dalam istana. Setelah musim baik tiba, berlayar pulanglah Wiramartas. Empat puluh orang ahli patung milik Raja Tiongkok ikut serta. Selain itu, dikirim pula berbagai aneka macam hadiah, seperti tikar permadani, kain sutera dan barang-barang porselen. Wiramartas sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah dan sebilah pedang Jepang.

Setelah Wiramartas sampai di pelabuhan Negara Dipa, utusan ini disambut secara meriah. Dalam sidang, Wiramartas menyampaikan laporan dari perjalanan dan membacakan surat dari Raja Tiongkok. Wiramartas dengan pengiring-pengiringnya diberi hadiah, yakni sebagai balas jasa atas menjalankan kewajibannya dengan sangat baik. Kepada Wargasari, bendahara raja, diserahkan bingkisan Raja Tiongkok. Sedangkan Arya Megatsari diperintahkan untuk menjaga ahli-ahli seni rupa bangsa Tionghoa itu.

Dalam waktu yang singkat, ahli-ahli bangsa Tiongkok itu selesai dengan tugas mereka. Dua patung gangsa yang berbentuk seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ukurannya sebesar anak kecil, diserahkan kepada raja. Raja sangat mengagumi pekerjaan para ahli itu. Kemudian raja menitahkan untuk melemparkan patung-patung dari kayu cendana ke dalam laut, dan menempatkan patung gangsa sebagai gantinya di dalam candi.

Empat puluh pandita dititahkan untuk menjaga patung-patung itu. Di dalam waktu tertentu, mereka harus membersihkan dan menggosoknya dengan pasir halus, agar patung itu tidak berkarat. Kemudian diusap dengan narawastu dan diasapi dengan kemenyan. Setiap malam Sabtu, haruslah pandita-pandita itu menaburi patung-patung itu dengan bunga melati, cempaka, dan bunga pudak.

Di zaman itu, Negara Dipa termasyhur ke mana-mana. Pembentukan negara dan cara pemerintahan mengikuti adat dari kerajaan Majapahit. Pakaian dan kebiasaan harus meniru pula pakaian adat dan kebiasaan Jawa. Malah raja tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling atau Melayu. Karena Negara Dipa adalah negara yang berdiri sendiri dan haruslah mengambil bentuk yang selaras dan pantas. Selanjutnya raja memperingatkan rakyatnya, jangan menanam lada untuk perdagangan seperti di Sriwijaya. Sebab di tempat tumbuhnya lada, akan terdapat kekurangan bahan makanan. Tumbuh-tumbuhan tidak akan tumbuh subur oleh hawa panas lada. Negara akan menerima kesukaran dan pemerintahan akan runtuh. Jika orang ingin menanam juga lada, hendaknya jangan lebih dari empat sampai lima rumpun, yakni sekadar cukup untuk keperluan sendiri.

Beberapa lama kemudian Empu Jatmika jatuh sakit. Banyak tabib yang didatangkan, tapi tidak berhasil. Siang dan malam banyak rakyat yang berjaga-jaga di sekitar istana.

Akhirnya raja menitahkan agar kedua putranya menghadap. Juga kedua hulubalang, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa. Dengan tegas raja memperingatkan agar kedua putranya jangan menerima kehormatan untuk menjadi raja. Sebab bencana dan malapetaka akan selalu menimpa setiap orang yang menjadi raja, jika dia bukan berasal dari kaum bangsawan. Beliau sendiri meletakkan kekuasaan pada patung-patung karena khawatir di timpa bencana. Jika beliau mangkat haruslah patung-patung itu dilemparkan ke laut. Sedangkan putra-putranya dititahkan mencari raja manusia dengan jalan Empu Mandastana haruslah bertapa di gunung, di dalam gua atau di pohon-pohon besar. Sedangkan Lembu Mangkurat haruslah bertapa di pusaran air yang dalam. Sesudah memberikan peringatan ini, rajapun mangkat. Pemakaman jenazah baginda dilakukan dengan upacara kebesaran. Kemudian oleh pandita-pandita dilakukan upacara membuang patung-patung ke dalam laut.

Kemudian Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat pergi bertapa memenuhi anjuran ayahanda mereka, Empu Jatmika. Dua tahun lamanya mereka hidup mengasingkan diri, dengan mengurangi makan, minum, dan tidur. Akan tetapi, yang diharap-harap belum juga tiba, sehingga mereka telah berniat untuk pulang kembali.

Pada suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi. Dalam mimpinya seolah mendengar suara almarhum ayahandanya. Beliau menganjurkan supaya Lambu Mangkurat membuat rakit-rakit dari 14 batang pohon pisang saba dengan berlangit-langit kain putih. Di empat sudut digantungkan mayang mengurai. Lambu Mangkurat harus pula membakar dupa, dan berhanyut ke hilir sungai dengan tidak merasa gentar, bila seandainya bertemu buaya, ikan, dan ular besar. Jika dia dan rakitnya sampai di Lubuk Bargaja, maka rakit itu akan berputar di pusaran air. Kalau pusaran air ini tenang kembali, dia akan melihat sebuah buih raksasa. Dari dalam buih ini akan terdengar suara perempuan yang berbicara kepadanya. Perempuan inilah yang akan menjadi raja putri Negara Dipa.

Besok harinya Lembu Mangkurat melaksanakan petunjuk yang terdapat dalam mimpinya. Dengan rakit yang memenuhi syarat seperti yang dikehendaki, diapun berhanyut ke hilir. Dengan tidak merasa takut, walaupun sepanjang jalan bertemu dengan buaya, ikan, dan ular-ular besar. Akhirnya dia melihat buih yang bercahaya-cahaya timbul ke permukaan air. Suatu suara yang lemah lembut dan merdu bertanya: “Lembu Mangkurat, apakah yang engkau perbuat di sini?” Lembu Mangkuratpun menjawab: “Hamba mencari seorang raja untuk memerintah di Negara Dipa!” Suara itu kedengaran lagi. “Lembu Mangkurat, aku adalah raja putri, Putri Tunjung Buih yang engkau cari!”. Lembu Mangkurat terus berjanji mempersembahkan candi sebagai istana. Tetapi Putri Tunjung Buih menolak tinggal di sana. Karena di situ pernah di letakkan patung-patung yang dijadikan berhala. Dia meminta supaya membangun sebuah mahligai. Sebagai tiangnya haruslah diambil 4 pohon batung batulis dari gunung Batu Piring. Mahligai itu haruslah selesai dikerjakan di dalam satu hari. Selanjutnya empat puluh orang gadis harus menyelesaikan selembar kain kuning yang panjangnya 7 meter dan lebarnya 2 meter. Kain itu akan digunakan oleh putri sebagai selendang jika dia bepergian. Setelah mengetahui hal ini semua, Lembu Mangkurat pun segera memberitahukan peristiwa ini kepada Empu Mandastana. Rakyat dilarang melayari sungai tersebut sebelum putri naik ke mahligai. Empat orang patih mendapat perintah untuk mengambil 4 pohon batung batulis. Benarlah, pada hari itu permintaan Putri Tunjung Buih selesai, seperti mahligai. Sedangkan keempat puluh orang gadis dapat pula memenuhi kewajiban yang dipikulkan kepada mereka untuk membuat selembar kain langgundi.

Dengan suatu upacara kebesaran, berangkatlah Lembu Mangkurat menjemput sang Putri Tunjung Buih dengan diiringi oleh 40 orang gadis yang berpakaian kuning. Dengan khidmat kain kuningpun dipersembahkan kepada Putri Tunjung Buih.

Bercahaya-cahaya, gilang-gemilang keluarlah putri dari dalam buih, berpakaian rapi dan berselendang kain kuning yang dibuat oleh para gadis. Dengan diiringi oleh rakyat, berangkatlah Putri Junjung Buih menuju mahligainya. Hanya 40 orang gadis pengiring yang diperkenankan tinggal bersama Putri. Kini Putri Junjung Buih pun menjadi raja di Negara Dipa. Di dalam wujudnya, pemerintahan diserahkan kepada kebijaksanaan Lembu Mangkurat, walaupun dia adalah adik dari Empu Mandastana. Dan ia pulalah yang memberikan keputusan-keputusan yang penting di dalam soal yang bertalian dengan urusan negara.

Pada suatu hari Lembu Mangkurat menghadap Putri Junjung Buih, dengan maksud menanyakan apakah dia tidak akan memilih suami. Dengan tegas Putri Junjung Buih itu menjawab: “bahwa dia hanya akan kawin dengan seorang laki-laki yang diperoleh dengan bertapa”. Jawaban ini menimbulkan kesukaran yang tidak mudah dipecahkan. Dengan agak malu Lembu Mangkurat memohon diri pulang.

Adapun Empu Mandastana berputra dua orang, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga. Setiap hari, kedua anak muda itu bermain di sekitar mahligai Putri Junjung Buih. Banyak anak gadis yang jatuh cinta kepada kedua anak muda ini. Mereka menjalin pantun dan menggubah seloka untuk menyatakan kerinduan mereka. Pada suatu hari Putri Junjung Buih melihat kedua anak muda itu, hingga diketahuinya kedua anak itu adalah putra-putra dari Empu Mandastana. Sekadar untuk memberi hadiah sebagai tanda kebahagiaan hatinya, Putri Junjung Buih memberi sekuntum bunga nagasari kepada mereka. Bunga nagasari pada waktu itu belum tumbuh di Negara Dipa. Tetapi malang, tepat pada saat itu paman mereka, Lembu Mangkurat lewat di sana. Dengan gusar dan cemburu Lembu Mangkurat menanyakan apa yang mereka perbuat di sekitar istana itu. Kemudian ia melarang kedua putra kakaknya itu untuk datang bermain-main di dekat kediaman raja. Hal itu karena Lembu Mangkurat berpendapat, kalau nanti sampai Putri Junjung Buih ingin bersuamikan salah seorang dari kemenakannya, maka dia kelak sebagai paman akan menyembah anak kakaknya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyingkirkan kedua anak muda itu.

Pada suatu hari dengan alasan bersama-sama akan pergi mencari ikan, ia mengajak kedua kemenakannya, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga ke hulu sungai. Kedua anak itu menurut saja ajakan pamannya itu. Namun sebelum berangkat, mereka telah bermohon dan menyatakan selamat berpisah kepada ayah dan bunda mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi pangkal kecurigaan. Menjelang keberangkatan, Bangbang Sukmaraga menanam sebatang pohon kembang melati di sebelah kanan dari pintu rumah, sedangkan adiknya Bangbang Patmaraga menanam sebatang kembang merah di sebelah kiri, seraya berkata: “Jika daun-daun ini rontok berguguran, maka itulah tandanya kami berdua kakak beradik mati dibunuh oleh paman Lembu Mangkurat”!

Dengan berbaju putih, mereka pergi ke perahu, sedangkan Lembu Mangkurat telah datang terlebih dahulu menunggu mereka. Mereka bersama-sama berangkat dengan perahu ke hulu sungai hingga sampai di Batang Tabalong. Di sinilah kedua anak kakaknya tersebut dibunuh. Lembu Mangkurat menjadi keheran-heranan setelah mengetahui bahwa mayat Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga hilang lenyap seketika itu juga. Sampai sekarang tempat pembunuhan ini masih dikenal dengan nama Lubuk Badangsanak.

Empu Mandastana dan istrinya yang sedang dalam keadaan cemas dan khawatir menunggu kabar anaknya, tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya sejoli burung merak. Yang jantan hinggap di pangkuan Empu Mandastana dan yang betina di pangkuan istrinya.

Maklum akan tanda-tanda ini, berdebar-debarlah hati Empu Mandastana dan istrinya. Seolah-olah mereka tahu bahwa kedua putra mereka telah mati dibunuh. Dengan serempak mereka menengok pohon-pohon yang ditanam oleh putra-putranya. Ketika melihat pohon-pohon itu, berlinanganlah air mata mereka karena daun-daun pohon itu satu demi satu berguguran. Segera mereka mengambil keputusan untuk mengikuti nasib kedua putranya, yaitu Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga. Setibanya mereka kembali ke candi, Empu Mandastana menikam dirinya dengan sebuah keris Keling yang bernama Parung Sari dan istrinya dengan Lading Malela. Beberapa hari kemudian barulah Lembu Mangkurat mengetahui kematian kakaknya. Ia menanyakan kepada semua pengiring di manakah mereka paling akhir melihatnya. Tetapi walaupun sudah diselidiki dengan saksama, orang-orang tidak juga menjumpai Empu Mandastana dan istrinya. Sambil menduga apa yang mungkin terjadi, Lembu Mangkurat pergi menuju Candi. Di sana dia menjumpai kedua sosok tubuh yang telah menjadi mayat, terbaring tenang laksana tidur, sedangkan keris dan lading untuk bunuh diri tergeletak di samping mereka masing-masing. Di sekelilingnya tampak banyak burung yang mati bergelimpangan karena terbang melangkahi kedua mayat keramat itu.

Lembu Mangkurat memerintahkan pengiring-pengiringnya untuk membuang kedua mayat itu serta tanah-tanah tempat mayat itu terbaring ke laut. Di tempat itu kemudian menjadi sebuah telaga yang sampai sekarang dinamakan Telaga Raha. Konon jika ada seorang yang dianggap bersalah dan dibunuh, maka kelihatan air Telaga Raha itu akan berwarna kemerah-merahan selama dua puluh empat jam. Demikian pula halnya dengan sungai yang berhulu dari gunung Batu Piring, yaitu gunung tempat mengambil batung batulis untuk membuat tiang mahligai Putri Junjung Buih. Sampai sekarang sungai ini masih terkenal dengan nama Sungai Darah.

Pada suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahandanya menceritakan bahwa Raja Majapahit ketika bertapa mendapat seorang putera yang layak untuk menjadi suami Putri Junjung Buih. Di dalam mimpinya diceritakan bahwa semula Raja Majapahit mendapat nasihat dari seorang tua supaya bertapa di gunung Majapahit dan kelak malaikat dari kayangan akan memberikan baginda seorang putera. Jika baginda menjaga anak ini baik-baik, kekuasaan dan kemasyhurannya akan bertambah luas. Selain itu sebagai tanda rahmat kebahagiaan, akan lahir lagi enam orang anak. Pada keesokan harinya, Raja Majapahit berangkat bertapa ke gunung tersebut. Sesudah empat puluh hari lamanya beliau bertapa, baginda benar-benar mendapat karunia seorang putra yang diberi nama Raden Putra. Kemudian baginda kembali ke istana. Sesudah beberapa lama akhirnya lahir enam orang anak, tiga orang putra dan tiga orang putri. Kekuasaan Majapahit kian hari kian bertambah besar.

Demikianlah cerita yang disampaikan oleh almarhum ayahandanya di dalam mimpi. Berdasarkan mimpinya itu, Lembu Mangkuratpun memerintahkan dengan segera untuk menyiapkan kapal Si Prabayaksa dan kapal-kapal lainnya. Selain Wiramartas, ikut pula empat orang patih serta sepuluh orang nakhoda, Puspawana, Wangsanala, dan Sarageni. Rombongan ini berangkat dari Negaradipa dan langsung dipimpin oleh Lembu Mangkurat. Tidak lama kemudian sampailah mereka di pelabuhan Majapahit. Ketika Syahbandar Pelabuhan Majapahit menerima kabar tersebut, maka iapun pergi ke pangkalan untuk menyaksikan sendiri orang asing yang datang itu. Betapa terkejut hatinya ketika melihat begitu banyak kapal yang berlabuh, sehingga keluar dari mulutnya: “selama orang-orang asing datang ke sini, belum pernah seperti ini”! Syahbandar Pelabuhan Majapahit segera kembali dengan membawa kabar, bahwa orang-orang asing itu berasal dari Negara Dipa di bawah pimpinan Lembu Mangkurat. Mereka datang dengan maksud mengunjungi Raja Majapahit. Dengan segera Syahbandar pelabuhan pergi ke istana kerajaan Majapahit dan menyampaikan laporan kepada Patih Gajah Mada. Kemudian Patih Gajah Mada menyampaikan berita ini kepada Raja Majapahit.

Berita kedatangan Lembu Mangkurat ini menimbulkan kekhawatiran Raja Majapahit, yang selama ini tidak pernah merasa gentar kepada raja asing mana pun. Meskipun demikian, beliau tetap mempersilakan Lembu Mangkurat untuk menghadap. Dengan berpakaian kebesaran yang gemerlapan, berangkatlah Lembu Mangkurat menunggang kuda putih didampingi oleh para pengawal yang bersenjata pedang. Para patih, hulubalang dan nakhoda-nakhoda berbaris pula mengikuti mereka dengan pakaian kebesaran yang indah. Paling belakang terdapat barisan dari lima ratus tentara yang berjalan kaki dan lima ratus orang yang menunggang kuda. Arak-arakan seindah itu belum pernah terlihat di Majapahit.

Sesudah tiga hari, barisanpun sampai di dalam kota. Di Sitiluhur telah menunggu Patih Gajah Mada, Arya Dilah, Arya Jamba, Rangga Lawe, Arya Sinom, Kuda Pikatan, Hajaran Panulih, dan Dipati Lampur. Sejurus kemudian terdengarlah dentuman senapan yang memberikan tanda bahwa raja akan keluar dari istana. Dengan diiringi bunyi gamelan, raja berjalan keluar. Di atas panggung terdengar gamelan membunyikan lagu lokananta, sedang di Paseban dibunyikan galaganjur. Tombak upacara, bendera, dan panji-panji dibawa ke hadapan raja. Beberapa rombongan masing-masing terdiri atas empat puluh orang, datang berbaris dengan memakai pakaian seragam yang indah. Kemudian raja duduk di Sitiluhur, sedangkan untuk pengawalan ditempatkan Singanegara (polisi) sebanyak empat ratus orang di sekeliling istana. Di hadapan raja duduk pula dua ratus orang wanita dengan memakai sarung yang keemas-emasan. Mereka adalah para pengiring yang diwajibkan untuk membawa keperluan-keperluan raja, seperti tikar, kendi, alat merokok, dan sebagainya. Lembu Mangkurat dipersilakan masuk ke ruang tamu istana didampingi oleh empat orang patih yang duduk di belakangnya.

Tak lama kemudian Patih Gajah Mada memasuki ruang tamu. Beliau menyalami tangan Lembu Mangkurat, kemudian menanyakan maksud kedatangannya. “Kami datang untuk menghadap Raja Majapahit”! kata Lembu Mangkurat. Kemudian Patih Gajah Mada menanyakan lagi apa gerangan yang diinginkan Lembu Mangkurat yang lain. Kalau diperkanankan ia akan membawa anak Raja Majapahit ke Negara Dipa untuk dikawinkan dengan Putri Junjung Buih, raja dari kerajaan Negara Dipa. Sesudah itu Lembu Mangkurat juga menyerahkan bingkisan-bingkisan yang berharga. Patih Gajah Mada kemudian menerangkan bahwa baginda tidak mempunyai anak lagi. Enam orang putra-putri telah kawin semuanya. Kemudian Lembu Mangkurat menerangkan bahwa ia hanya menghendaki putera Raja Majapahit yang diperoleh dari bertapa. Akhirnya Raja Majapahit berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh hari kepada Lembu Mangkurat. Kemudian Raja Majapahit meninggalkan ruang tamu dengan diiringi bunyi gamelan. Patih Gajah Mada ditunjuk untuk menjamu Lembu Mangkurat beserta pengiringnya.

Tujuh hari tujuh malam secara terus-menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang gedog, dan sebagainya. Selain itu, diadakan pula pertandingan ketangkasan keprajuritan. Setelah tiba waktunya, benarlah raja dengan ikhlas menyerahkan putranya yang bernama Raden Putra. Lembu Mangkurat mendapat banyak hadiah dari Raja Majapahit untuk dibawa pulang seperti dua payung besar, dua payung kertas, dua bedil cacorong, satu keris Jaka Piturun, satu gamelan Si Rarasati, satu babande Si Macan, satu pepatuk Si Mundaran.

Raden Putra pun diusung dalam tandu dibawa menuju ke pelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Angin tiba-tiba berhenti bertiup, reda, teduh, dan laut menjadi tenang. Apapun juga telah diperbuat, namun kapal yang ditumpangi Raden Putra tak juga bergerak. Semuanya telah putus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putra bahwa ada dua ekor naga putih, yang merupakan rakyat dari Putri Junjung Buih melilit dan menahan kapal. Raden Putra menyatakan bahwa dia siap melompat ke laut untuk mengusirnya. Sekarang Lembu Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putra. Lembu Mangkurat yang semula tidak menunjukkan ketakutan terhadap Raja Majapahit, kini menghatur sembah kepada Raden Putra.

Raden Putra meminta supaya menunggu tiga hari kepada Lembu Mangkurat. Jika sesudah tiga hari belum timbul juga, haruslah dilakukan puja bantani, karena dengan melakukan puja tersebut tentu dia akan segera timbul kembali. Dengan hati yang berdebar-debar setelah mereka menunggu selama tiga hari, tetapi Raden Putra belum timbul juga. Wiramartaspun lalu diutus lebih dahulu untuk mengambil kerbau, kambing, dan ayam ke Negara Dipa. Diapun juga diwajibkan untuk membawa menteri-menteri untuk menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit. Setelah Wiramartas tiba di Negara Dipa membawa berita, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa pun memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran.

Sesudah diadakan upacara puja bantani tujuh hari tujuh malam, tampaklah tiba-tiba Raden Putra muncul ke permukaan air dengan muka berseri-seri dan bercahaya, memakai baju sutera kuning yang indah dan menakjubkan, serta kaki Raden Putra bepijak di atas sebuah gong besar. Setelah Raden Putra naik ke geladak kapal, Lembu Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah. Oleh karena itu, gong besar tersebut sampai sekarang tetap dikenal dengan nama Si Rabut Paradah. Raden Putra selanjutnya bergelar Suryanata. Surya artinya matahari, nata artinya raja. Tempat berhenti dan memuja di Pendamaran itu sampai sekarang dinamai Perbantanan.

Kemudian pelayaran diteruskan menyusuri sungai menuju Negara Dipa. Suryanata mendapat tempat tinggal di istana yang pernah didiami oleh Empu Jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Pitap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sabangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang datanglah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Raden Suryanata. Empat puluh hari, empat puluh malam lamanya diadakan perayaan dan pertunjukan, wayang, topeng, rakit, joget. Pada tengah malam pemuda-pemudi para pembesar kerajaan mendirikan padudusan (tempat upacara mandi), sedang orang-orang yang disebut “kadang haji” diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, pagungan, sitiluhur dan paseban dihiasi dengan indah. Dari segala pelosok membanjirlah rakyat hendak menyaksikan dan mengagumi kemeriahan upacara perkawinan Putri Junjung Buih dengan Raden Putra Suryanata.

Pada hari upacara padudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawinan, demikian pula halnya dengan Raja Junjung Buih. Putri Junjung Buih berpakaian dengan hanya boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita-wanita dari pembesar istana. Sebagai selendang dipakaikanlah kain yang dikenakan puteri ketika baru timbul dari dalam air. Putri Junjung Buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis yang jelita. Semuanya memakai baju sutera kuning, sedang pengiring buat Suryanata adalah anak-anak para menteri yang diwajibkan antara lain membawa alat-alat merokok, alat menginang, tikar dan sebagainya.

Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki dibungkus dengan sutera kuning. Setelah Suryanata selesai berpakaian, diapun melangkah keluar, dan tiba-tiba terdengarlah suara: “Oh Raden Suryanata, janganlah turun sebelum memakai Mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari raja-raja di bawah angin”. Selanjutnya suara gaib itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian dapat menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan, atau menjadi lebih besar atau menjadi lebih kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, dialah yang dapat menjadi raja. Dengan sangat khidmat Raden Suryanata mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibuat oleh para gadis disambutnyalah mahkota itu dan diletakkan di kepala.

Raden Suryanata kemudian duduk dalam sebuah usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan rentetan dentuman bedil serta tepuk sorak dari rakyat, maka usungan pun diusung menuju istana mempelai perempuan. Sampai di sini maka Putri Junjung Buihpun dijemput dan arak-arakan terus menuju ke padudusan.

Kedua mempelai turun dari usungan dan duduk di atas empat kepala kerbau dan kemudian naik di panggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani. Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara terkemuka dan penghulu dari bujangga-bujangga di padudusan. Dengan penuh hormat dan khidmat Lembu Mangkurat mula-mula menyiramkan air mandi di atas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megatsari, Temenggung Tatah Jiwa, dan penghulu tertinggi dari bujangga-bujangga, yang melakukan penyiraman sambil mengucap mantera dan doa selamat. Ketika telah selesai dengan upacara itu, ditaburkanlah beras kuning dan mata uang berpuluh-puluh ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan rentetan dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.

Kedua mempelai dibawa ke istana. Di sini kedua pengantin makan bersama-sama dengan nasi adap-adap, sedangkan menteri-menteri pun mendapat bagiannya pula. Sesudah berlangsung tiga hari, tiga malam, barulah kedua mempelai berkumpul, pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang menggembirakan ini, gong Si Rabut Paradah dipalu, sedang rarancakan Si Rarasati dibunyikan dan senapan-senapan ditembakkan berdentum-dentuman. Kebiasaan seperti ini masih terus berlaku terutama pada upacara perkawinan kaum bangsawan.

Masih tujuh hari tujuh malam perayaan diteruskan bertempat di Paseban. Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, dan kecakapan bermain senjata. Keempat puluh orang anak dara mendapat kewajiban masing-masing, diantaranya menjadi parakan, penjogetan, penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih pinang, dan alat perhiasan.

Setiap Sabtu raja memberikan kesempatan bawahan dan rakyat untuk menghadapnya di Sitiluhur. Tidak berapa lama kemudian, permaisuri hamil. Karena permaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka dikirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambilkan buah yang diinginkan itu. Sekadar bahan bingkisan untuk Raja Majapahit dikirim seperti lilin, damar, rotan, tikar, dan dua buah intan yang besar. Kapal berlayar di bawah pimpinan nakhoda Lampung yang segera sampai di Majapahit. Dengan perantaraan Patih Gajah Mada, beliau dibawa menghadap Raja Majapahit. Raja sangat girang setelah mendengar berita yang menggembirakan itu dan dengan segera menitahkan menyerahkan buah-buahan yang diinginkan dengan ditaruh di dalam kotak emas.

Nakhoda Lampung segera mohon diri dan berlayar kembali dengan membawa hadiah-hadiah yang berupa beras, kelapa, gula, minyak kelapa, asam kamal, bawang, rempah-rempah dan kain-kain batik yang indah. Setibanya di Negara Dipa, ia dianugerahi pula oleh Maharaja Suryanata karena telah berhasil dengan baik menjalankan perintah yang dititahkan kepadanya. Setelah cukup bulannya, dan harinya, permaisuripun melahirkan seorang Putra, yang diberi nama Raden Suryaganggawangsa. Peristiwa ini dirayakan dengan membunyikan Si Rabut Paradah, gamelan Si Rarasati, dan senapan-senapan. Kebiasaan ini masih diadakan pada setiap lahirnya anak raja berikutnya.

Beberapa tahun kemudian permaisuri melahirkan kembali seorang putra yang bernama Raden Suryawangsa. Di zaman itu yang takluk kepada Maharaja Suryanata adalah raja-raja Sukadana, Sanggau, dan Sambas, kepala-kepala daerah Batang Lawai, dan Kotawaringin. Juga raja-raja Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau tunduk pula kepada Negara Dipa.

Pada suatu hari raja mengadakan pesta untuk segala Punggawa. Orang ramai bersuka ria. Dengan senda gurau dan gelak tawa. Tetapi sekonyong-konyong raja mengabarkan berita yang mengejutkan mereka, bahwa raja dan permaisuri akan “kembali ke asal”. Oleh karena itu, kedua putra mereka dipercayakan dibimbing atau diasuh Lembu Mangkurat. Rakyatnya diperingatkan jangan meniru-niru pakaian bangsa lain, dan adat serta susunan pemerintahan hendaklah menurut Jawa. Sebab tidak ada satu daerah di bawah angin yang akan dapat menyaingi Jawa. Jadi janganlah pernah menyimpang dari adat Majapahit. Selanjutnya raja mengulangi peringatan raja yang terdahulu, yaitu jangan menanam lada untuk perdagangan karena hal ini akan membawa runtuhnya negara. Juga jangan sekali-sekali menangkap orang-orang yang celaka oleh kekaraman kapal.

Setelah mengucapkan amanat dan pesan itu, dengan tiba-tiba lenyap dan gaiblah raja beserta permaisuri dari pandangan rakyat yang merasa heran dan takjub. Seluruh negara turut bersedih dan berkabung.

Sebagai pengganti Maharaja Suryanata, dinobatkanlah Raden Suryaganggawangsa di padudusan dan di sinilah raja memakai mahkota yang datang dari langit. Setelah Raden Suryaganggawangsa memerintah, rajapun memperkenankan pulang gadis-gadis yang menjadi dayang Maharaja Suryanata. Raja memberi hadiah berupa pakaian dan alat-alat perkakas rumah. Bagi mereka yang ingin kawin, dikawinkan oleh raja.

Setelah Maharaja Suryanata, begitupun Maharaja Suryaganggawangsa memberikan pula kesempatan untuk menghadap setiap hari Sabtu dengan bertempat di Sitiluhur. Lembu Mangkurat diangkat menjadi Mangkubumi, sedang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa adalah sebagai pengawal. Di bawahnya sebagai jaksa adalah Patih Baras, Patih Wasi, Patih Luhur dan Patih Dulu. Kemudian empat orang Menteri Kemakmuran, Sang Panimba Sagara, Sang Pangaruntun Manau, Sang Pambalah Batung dan Sang Jampang Sasak, yang mempunyai kekuasaan memerintah atas empat puluh orang pasukan keamanan. Juga saudara raja, Pangeran Suryawangsa yang mendapat gelar Dipati mempunyai pula seribu pengiring yang setiap saat siap menerima perintah Mangkubumi.

Lembu Mangkurat selalu mendorong beliau agar cepat beristri karena raja belum mempunyai permaisuri. Namun semua dorongan dan anjuran itu tidak berhasil. Pada suatu hari raja berkata bahwa dia mendengar suara dari paduka ayahanda yang telah gaib (meninggal dunia), mengatakan bahwa raja harus kawin dengan anak Dayang Diparaja. Lembu Mangkurat merasa malu dan khawatir karena dimanakah harus mencari permaisuri yang dimaksudkan itu? Arya Megatsari dan Temenggung Tatah Jiwa tidak dapat pula memberikan keputusan. Oleh karena itu, dicobalah mengirimkan utusan ke semua pelosok, tetapi kebanyakan pulang dengan tangan hampa.

Pada suatu hari, rombongan Singanegara (polisi) yang di dalam perjalanan memudiki sungai sampai di Tanggahulin, di pangkalan Arya Malingkun. Di sini mereka menemui seorang gadis yang sedang mandi di bawah pengawasan seorang pengawalnya. Ketika dia melihat rombongan Singanegara, ia terkejut dan berteriak “He, Dayang Diparaja, lekas! Itu datang rombongan Singanegara (polisi)”. Ketika rombongan Singanegara mendengar nama ini, mereka segera berdayung pulang kembali untuk memberi kabar pada Lembu Mangkurat.

Singantaka dan Singapati, keduanya kepala dari barisan Singanegara (polisi). Mendapat perintah untuk meminta kepada Arya Malingkun, anaknya, guna dijadikan permaisuri raja. Mereka berangkat dengan empat puluh orang perempuan yang akan menjadi pengiring menuju ke Tanggahulin.

Arya Malingkun ternyata tidak sudi menyerahkan anaknya, walaupun sudah dijanjikan anaknya akan menjadi permaisuri, bukanlah untuk dijadikan dayang-dayang, penjogetan atau gundik. Dia tetap berkeras hati menolak. Utusanpun terpaksa pulang tanpa membawa hasil. Ketika Lembu Mangkurat yang mendengar perintahnya ditolak menjadi sangat marah dan mengambil keputusan untuk pergi sendiri ke Tanggahulin.

Lembu Mangkurat berangkat dengan perahu yang memakai tanda kebesaran dengan diiringi oleh punggawa-punggawanya. Tidak berapa lama, tibalah dia di Tanggahulin. Ketika orang-orang di sana melihat kedatangan Lembu Mangkurat, orang-orang tersebut menjadi khawatir dan takut.

Arya Malingkun datang dengan segera mengelu-elukan dan mempersilakan Lembu Mangkurat masuk ke dalam rumah. Dengan gusar dan marah Lembu Mangkurat berkata, apakah Arya Malingkun bersedia untuk menyerahkan anaknya atau tidak? Sekadar untuk menakut-nakuti anaknya, Lembu Mangkurat menikam tangannya dengan pedang. Arya Malingkun terkejut melihat Lembu Mangkurat sama sekali tidak terluka oleh senjata. Dengan agak ketakutan dia memerintahkan orang-orang segera menyuruh menjemput anaknya untuk diserahkan kepada Lembu Mangkurat. Setelah berhasil Lembu Mangkurat kembali bersama gadis tersebut untuk menghadap raja. Tetapi kemudian ternyata raja tidak mau kawin dengan Dayang Diparaja, karena yang diinginkan adalah anaknya. Sekarang timbul kesulitan yang harus dipecahkan. Siapakah yang harus mengawini gadis tersebut? Akhirnya semua sependapat dan setuju bahwa hanya Lembu Mangkuratlah yang pantas dan tepat untuk mengawini Dayang Diparaja. Perkawinan segera dilakukan. Perayaan perkawinan itu berlangsung selama tujuh hari lamanya.

Tidak berapa lama kemudian, Dayang Diparaja hamil. Walaupun telah cukup bulan dan harinya, dia belum juga melahirkan. Barulah sesudah lima belas bulan terasa menderita sakit selama tiga hari hendak bersalin. Dengan bermacam-macam cara dan syarat, dicoba untuk menjauhkan segala pengaruh jahat tetapi semuanya sia-sia belaka, bahkan Lembu Mangkurat sendiri telah putus asa. Tiba-tiba dari dalam kandungan ibu yang sakit itu terdengar suara: “Ooh ayah Lembu Mangkurat, tidaklah melalui jalan yang mudah anaknda akan lahir, tetapi ananda akan keluar dari sisi kiri ibunda”, bedahlah dan perbuatlah ini untuk anaknda”. Sejurus lamanya Lembu Mangkurat di dalam kebimbangan. Tetapi ternyata kewajibannya untuk mempersembahkan seorang permaisuri kepada raja adalah beban yang lebih berat lagi. Lembu Mangkurat membedah sisi kiri perut Dayang Diparaja. Setelah dibedah, Dayang Diparaja meninggal sesudah berpesan supaya menjaga baik-baik anaknya. Seorang anak yang cantik lahir dengan perhiasan yang biasanya dipakai oleh gadis-gadis. Lembu Mangkurat memberikan perintah supaya menyusui anaknya yang diberi nama Putri Huripan. Tiga hari lamanya Putri Huripan tidak mau menyusu. Akhirnya dia sendiri mengatakan bahwa hanya akan minum air susu dari kerbau putih. Ayahnya, Lembu Mangkurat dengan segera memenuhi permintaan tersebut. Sejak itulah terjadi pantangan (tabu) bagi keturunannya untuk memakan daging kerbau putih.

Ketika Arya Malingkun dan istrinya mendengar kematian anaknya, Dayang Diparaja, merekapun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak anak yang mereka dicintai tersebut. Sebelum meninggal dunia, Arya Malingkun memakan sirih dan pinang muda, sedangkan istrinya memakan sirih dan pinang tua. Mereka memerintahkan pesuruhnya untuk menanam sepah itu di dalam tanah. Dari sepah tersebut tumbuh jariangau dan pirawas yang akan berguna untuk obat cucunya Putri Huripan. Inilah asal mula jariangau dan perawas tumbuh di Tanggahulin yang sejak saat itu disebut Huripan.

Ketika Putri Huripan sudah akil baligh, dia pun dipersembahkan kepada Raja Suryaganggawangsa sebagai calon permaisuri. Dengan segala upacara kebesaran, perkawinannya dirayakan. Sebagaimana lazimnya, kedua mempelai dimandikan di pancuran air (padudusan) dan kemudian diarak kembali ke istana.

Beberapa lama kemudian, permaisuripun melahirkan seorang Putri bernama Putri Kalarang. Setelah Putri ini dewasa, dia dikawinkan dengan saudara raja, Pangeran Suryawangsa. Karena hanya Pangeran Suryawangsa sajalah yang layak untuk mengawininya. Putri kalarang kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Carang Lalean. Raden Suryawangsa juga masih mendapat karunia seorang putri yang diberi nama Putri Kalungsu. Atas keinginan Raja Suryaganggawangsa, kedua anak ini, Raden Carang Lalean dan Putri Kalungsu dikawinkan. Pada waktu inilah Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa meninggal dunia.

Pada suatu hari, semua keluarga dan pegawai istana sedang berkumpul dan bersenang-senang, maharaja Suryaganggawangsa dan putri Huripan menerangkan bahwa mereka akan “kembali ke asal”. Kepada Lembu Mangkurat diamanatkan supaya Raden Carang lalean dan Putri Kalungsu diajarkan adat turun-temurun dari raja-raja terdahulu.

Lembu Mangkurat mencoba supaya raja dan permaisuri memalingkan pikiran agar menunda “kembali ke asal”. Tetapi sebelum itu, keduanya telah “menghilang” dari pandangan semua mata yang hadir.

Atas perintah Lembu Mangkurat, dibangunlah sebuah mahligai dan padudusan. Dengan disertai tembakan meriam dan tabuhan gamelan, Raden Carang Lalean dan Putri Kalungsu dimandikan dengan segala upacara. Kemudian raja baru itu pun meletakkan mahkota di atas kepalanya. Di dalam peraturan negara tidak ada perubahan yang diadakan. Setiap hari Sabtu tetap diadakan kesempatan untuk menghadap raja.

Tak lama kemudian permaisuri melahirkan seorang putra yang dinamai Raden Sekar Sungsang. Ketika putra raja itu berumur enam tahun, raja menerangkan akan “kembali ke asal”. Dia menyerahkan pemerintahan kepada Lembu Mangkurat, sementara putra raja belum dewasa. Kemudian raja pun lenyap dari pandangan mata hingga menimbulkan kesedihan seluruh rakyat dan keluarga istana.

Tidak lama sesudah itu, suatu waktu Putri Kalungsu membuat kue juadah. Raden Sekar Sungsang yang masih muda belia itu kadang-kadang mendekati ibunya untuk meminta makan. Karena juadah itu belum masak, ibunya menyuruh Raden Sekar Sungsang pergi dahulu. Tetapi akhirnya, Raden Sekar Sungsang tidak dapat lagi menahan selera nafsunya. Diambilnyalah sedikit kue juadah itu. Melihat hal ini, ibunya menjadi gusar. Dia kemudian memukul Raden Sekar Sungsang dengan sebuah sendok gangsa ke kepalanya. Dengan kepala yang bercucuran darah, Raden Sekar Sungsang lari yang makin lama makin jauh. Akhirnya dia tidak diketahui siapa pun juga. Kemudian dia dilihat oleh seorang pedagang bernama Juragan Balaba yang datang ke Negara Dipa untuk berniaga. Juragan Balaba waktu itu telah menduga bahwa anak tersebut bukanlah anak yang biasa saja, karena dari tubuhnya mengeluarkan cahaya yang bersinar. Karena anak buah kapal ingin segera berangkat, Juragan Balaba pun memutuskan untuk segera berlayar membawa Raden Sekar Sungsang.

Tak lama kemudian permaisuri menitahkan mencari anaknya ke semua pelosok tapi sia-sia saja usahanya itu. Hanya ada beberapa orang saja yang menerangkan bahwa mereka melihat sebuah kapal berlayar dengan membawa seorang anak, tetapi mereka juga tidak dapat memastikan apakah anak itu Raden Sekar Sungsang yang sedang dicari? Walaupun kapal itu dikejar namun tak ketemu juga karena sudah menuju laut lepas. Lembu Mangkurat kemudian menitahkan menyiapkan empat buah kapal untuk pergi ke seberang lautan. Akhirnya kapal-kapal itu sampai di Surabaya. Di sinilah diadakan penyelidikan dimana-mana, tetapi tak seorang pun dapat memberikan penjelasan. Setiap saat Lembu Mangkurat mengirim penyelidik-penyelidik tetapi jejak anak itu tetap tidak ditemukan juga.

Raden Sekar Sungsang yang sementara itu bergelar Ki Mas Lelana, telah dianggap Juragan balaba dan istrinya sebagai anak kandung mereka sendiri. Ayah dan bundanya ini ingin segera dia beristri, tetapi Ki Mas Lelana sendiri belum mempunyai keinginan. Juga setelah ayah angkatnya itu meninggal, Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surabaya. Pada suatu hari dia menerangkan cita-citanya untuk pergi ke Negara Dipa bersama dengan Juragan Dampu Awang untuk berniaga. Mula-mula ibu angkat Ki Mas Lelana menahannya, tetapi karena Ki Mas Lelana sudah berketetapan hati untuk pergi, dengan perasaan sedih ibu angkatnya akhirnya mau melepas kepergiannya itu. Dengan segera mereka menyeberangi lautan. Tatkala mereka sampai di Negara Dipa, maka Dampu Awang dan Ki Mas Lelana mulai berniaga. Lembu Mangkurat juga ikut berbelanja pada Dampu Awang dan Ki Mas Lelana. Bahkan Lembu Mangkurat mengharap supaya Ki Mas Lelana tinggal di Negara Dipa sampai musim yang akan datang dan dia akan meyerahkan sebuah rumah dengan pekarangannya. Juragan Dampu Awang diperintahkan supaya memberitahukan hal ini kepada ibu angkat Ki Mas Lelana, bahwa dia akan kembali ke Jawa tahun depan. Sementara itu Lembu Mangkurat mencoba menganjurkan Putri Kalungsu supaya kawin lagi. Dia mengabarkan bahwa seorang saudagar muda turunan dari Raja Majapahit, muda dan tampan sekarang sedang tinggal di rumahnya. Mula-mula permaisuri itu tidak mau, tetapi kemudian ia berubah pikiran dan meminta supaya orang asing itu datang menghadapnya pada hari Sabtu.

Dengan suatu upacara kebesaran, keesokan harinya Lembu Mangkurat yang berpakaian indah dan memakai tanda-tanda kebesaran menuju ke Sitiluhur. Begitu juga dengan Ki Mas Lelana. Ketika tiba di Sitiluhur, duduklah dia di belakang Lembu Mangkurat. Tatkala Putri Kalungsu memandang ke arah pemuda yang gagah itu, maka putri pun jadi jatuh cinta kepadanya. Tatkala Lembu Mangkurat meminta jawaban, Putri Kalungsu menyatakan persetujuannya untuk kawin.

Sebuah padudusan didirikan dalam tujuh hari lamanya. Perkawinan itu dilakukan dengan adat istiadat raja-raja yang terdahulu. Sebagaimana diketahui, Ki Mas Lalana adalah keturunan Raja Majapahit. Oleh karena tidak dilahirkan ke dunia melalui proses bertapa, dia tidak dapat menjadi seorang raja. Seandainya dari perkawinan itu lahir seorang putra, dialah yang akan menjadi raja, karena ibunya berasal dari raja yang lahir dari kekuatan gaib. Dengan demikian, untuk sementara waktu Lembu Mangkurat tetap menjadi wakil raja di Negara Dipa.

Ketika suatu hari Putri Kalungsu sedang membersihkan kepala suaminya, dia melihat tanda bekas luka dan menanyakan sebab-sebabnya. Mula-mula Ki Mas Lelana menerangkan bahwa ia sendiri pun tidak mengetahuinya. Tetapi ketika istrinya terus-menerus mendesak, akhirnya dia menceritakan bagaimana kisahnya ketika masih kecil. Pada suatu hari dia mendapat pukulan dikepala dari ibunya hingga luka, karena meminta berulang -ulang juadah yang sedang dengan ditanak sehingga membuat gusar hati ibunya. Diceritakannya pula bahwa dia kemudian lari dan beberapa tahun tinggal di Jawa karena dibawa oleh Juragan Balaba. Selain itu dia tidak tahu apa-apa. Dengan terperanjat Putri Kalungsu menolak kepala suaminya dari pangkuannya. “Jika demikian engkau adalah anakku Sekar Sungsang” menjerit Putri Kalungsu.

Ki Mas Lelana meniarap dengan menangis di kaki ibunya dan memohon ampun serta mengharap supaya membunuhnya. Putri Kalungsu memanggil Lembu Mangkurat dan kepadanya diceritakan peristiwa yang mengejutkan itu. Lembu Mangkurat tidak mengambil suatu keputusan, mengharap supaya permaisuri sendiri harus memutuskan, apakah yang harus dibuat? Dengan ini permaisuri menetapkan bahwa mereka harus bercerai untuk selama-lamanya, dan permaisuri mengganti nama anaknya dengan Raden Sari Kaburungan. Selanjutnya sejak itu Raden Sari Kaburungan dan ibunya, Putri Kalungsu mempunyai tempat tinggal yang terpisah.

Kemudian Raden Sari Kaburungan dinobatkan menjadi raja. Setahun kemudian raja memindahkan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan baru itu disebut Negara Daha dan sampai sekarang ini tempat itu masih bernama Negara. Di Muara Bahan dibuat sebuah pangkalan (pelabuhan) yang kemudian ramai sekali didatangi para pedagang.

Tidak beberapa lama kemudian menghilanglah secara gaib Putri Kalungsu yang tinggal di Negara Dipa bersama lima ratus orang pengiringnya. Dalam waktu itu pula Lembu Mangkurat meninggal dunia. Sebagai Mangkubumi diangkatlah putera Arya Megatsari yang bernama Arya Taranggana oleh Maharaja Sari Kaburungan, dia adalah seorang yang sangat cerdik lagi bijaksana. Tidak beberapa lama setelah itu, Maharaja Sari Kaburunganpun hilang secara gaib.

Di awal masa pemerintahan Maharaja Sukarama dan keturunannya, Raden Bengawan. Setelah itu, Maharaja Sukarama berpesan kepada ketiga anaknya agar kelak yang berhak menjadi raja adalah cucunya Raden Samudera bukan mereka. Hal itu membuat hati Pangeran Tumanggung gusar dan marah, karena yang menurutnya pantas menjadi raja adalah kakaknya Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua ayahnya, bukan langsung menunjuk (turun) ke cucu. Patih Aria Taranggana menyelamatkan Raden Samudera dengan cara menghanyutkannya. Hal ini secara implisit berimplikasi bahwa Maharaja Sukarama menginginkan agar sepeninggalnya nanti tidak terjadi peristiwa perang saudara karena perebutan kekuasaan antara ketiga anaknya itu.

Sepeninggal ayahnya, Maharaja Sukarama meninggal, Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi raja akan tetapi mahkota yang akan digunakannya dalam penobatan tidak sesuai dikepalanya. Begitupun juga ketika Pangeran Tumanggung dan Pangeran Bagalung mencobanya. Sama seperti benda pusaka kerajaan tidak dapat dibunyikan karena mereka melanggar amanat ayahnya. Kepindahan Pangeran Bagalung ke Marabahan untuk menetap di sana sampai masa meninggalnya.

Setelah sekian lama memerintah ahkhirnya terjadi salah paham antara Maharaja Mangkubumi dengan Pangeran Tumanggung tentang masalah perzinahan si Saban dengan si Harum. Atas hasutan Pangeran Tumanggung maka si saban mau membunuh Maharaja Mangkubumi dengan keris Malila.Namun setelah si Saban selesai melakukan pembunuhan, justru si Saban sendiri yang dibunuh oleh Pangeran Tumanggung. Akhirnya Pangeran Tumanggung diangkat menjadi raja, akan tetapi ketika pelaksanaan penobatannya mahkotanya tidak dapat dipakai, dan benda-benda pusaka istana tidak dapat digunakan (dibunyikan).

Cerita kemudian beralih tentang pencarian dan pertemuan Raden Samudera oleh Patih Masih dan anak buahnya setelah mendengar kabar Raden Samudera akan dibunuh oleh Pangeran Tumanggung. Keinginan para Patih untuk menjadikan Raden Samudera sebagai raja. Pada mulanya Raden Samudera menolak menjadi raja, akan tetapi setelah didesak dan dibuat mabuk, Raden Samudera pun akhirnya bersedia menjadi raja.

Pangeran Samudera yang baru diangkat menjadi raja kemudian memerintahkan bawahannya untuk merebut Muara Bahan. Akhirnya Pangeran Samudera dan pengikutnya berhasil merebut Muara Bahan tanpa ada perlawanan. Lalu Pangeran Samudera memulai membangun istana di Banjarmasih. Kemudian ia membentuk sistem pemerintahan seperti yang pernah dilakukan Ampu Jatmaka ketika mendirikan Nagara Dipa. Penobatan Pangeran Samudera sebagai raja Banjarmasih dan kesiapan mereka melawan serangan Pangeran Tumanggung dan bala tentaranya.

Setelah mendengar bandar Muara Bahan direbut oleh kemenakannya, Pangeran Samudera. Pangeran Tumanggungpun segera mengumpulkan bala tentara untuk menyerang kerajaan Bandarmasih. Pertempuranpun terjadi begitu dahsyat. Akhirnya pasukan Pangeran Tumanggung dapat dipukul mundur. Pangeran Samudera minta bantuan Sultan Demak setelah meminta saran Patih Masih.

Cerita selanjutnya tentang kebesaran kerajaan Majapahit di masa pemerintahan raja Tunggul Amatung dan Patih Gajah Mada. Tunggul Amatung kemudian melamar dan mengawini Putri Pasai. Akhirnya Putri Pasaipun hamil dan melahirkan anak lelaki. Pada saat itulah saudara putri, Raja Bungsu datang ke Majapahit dan iapun bersedia tinggal di sana. Raja Bungsu meminta kepada raja Majapahit sebidang tanah untuk tempat berdiam dan membuat langgar. Raja Majapahitpun mengabulkan permintaannya. Setelah ia diam di sana maka banyaklah orang-orang desa yang ingin masuk islam. Raja Bungsu sekali lagi minta izin kepada raja untuk mengislamkan mereka. Permintaannya inipun dikabulkan oleh raja. Akhirnya dimulailah pengislaman desa-desa di sekitar tempat tinggalnya.

Diceritakan pula tentang masuk Islamnya menteri desa bernama petinggi Jipang dan anak, istri, serta keluarganya karena melihat kealiman Raja Bungsu. Petinggi Jipangpun akhirnya jadi penghulu sekaligus orang alim. Di samping cerita keluarga raja Majapahit hingga meninggalnya.

Tersebutlah kisah tentang Juragan Balaba, suruhan Nyai Suta Pinatih dalam perjalanannya mengantar barang dari Gresik menuju ke Bali ditengah laut Blambangan, menemukan tabla yang berisi bayi. Iapun akhirnya kembali menemui dan mengantar bayi itu kepada Nyai Suta Pinatih. Nyai Suta Pinatihpun sangat senang menerima bayi itu. Bayi itupun lalu diangkatnya anak. Nyai Suta Pinatihpun akhirnya kaya raya berkat tuah anak itu.

Diceritakan juga mengenai sebab-sebab keruntuhan kerajaan Majapahit, dimulainya pengislaman pulau Jawa, dan berdirinya kerajaan Demak serta asal mula wali Allah di Jawa. Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Sultan Demak agar membantu peperangan melawan Pangeran Tumanggung melalui utusannya Patih Balit. Sultan Demak mau membantu asalkan Pangeran Samudera mau masuk islam. Pangeran Samudera dan keempat Patihnya pun bersedia masuk Islam. Kembali Patih Balit diutus ke Jawa untuk memberi tahu Sultan dengan tentang kesepakatannya itu. Sepulang dari Demak Patih Balit membawa tentara Demak sebanyak seribu orang lengkap dengan senjatanya dan seorang penghulu untuk mengislamkan mereka.

Akhirnya setelah berperang selama empat puluh hari tidak yang menang dan korban yang banyak berjatuhan, bunuh-membunuh antarkeluarga. Pasukan Pangeran Tumanggung banyak yang mati. Patih Aria Tarangganapun memberi usul agar peperangan dilakukan satu lawan satu antara Pangeran Tumanggung dan Pangeran Samudera, dan ia sendiri melawan Patih Masih.

Setelah berhadapan satu lawan satu. Pangeran Samudera tidak ingin ia menjadi durhaka karena menyerang pamannya Pangeran Tumanggung. Ia rela dibunuh pamannya. Mendengar hal itu menangislah Pangeran Tumanggung seraya memeluk kemenakannya itu. Perdamaian pun terjadilah.

Setelah berhasil berdamai dengan Pangeran Tumanggung, Pangeran Samuderapun menjadi raja Banjarmasih dan masuk islam dengan penghulu Demak Kemudian pasukan Demak dan penghulu Demak pulang diikuti oleh pasukan taklukkan Maharaja Suryanata dan Maharaja Sukarama. Aria Taranggana menjadi Patih kerajaan Banjarmasih.Sedangkan empat patih lainnya yaitu Patih Balit, Balitung, Kuwin dan Muhur diangkat menjadi jaksa.

Diceritakan pula tentang silsilah keturunan Sultan Suryanullah sepeninggalnya mangkat. Pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Rahmatullah. Setelah beliau wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya, Sultan Hidayatullah. Pada masa ini Patih Aria Taranggana wafat dan digantikan Kyai Anggadipa. Patih-patih yang lainpun menyusul wafat.

Sultan Marhum Panambahan kemudian menyuruh Raden Rangga Kasuma membawa semua orang suku Biaju untuk membunuh anak dan kemenakan Kyai di Podok. Si Sarang dan pengikutnya sepuluh orang masuk islam. Setelah masuk islam si Sarang dikawinkan Marhum Panambahan dengan Gusti Nurasa dan memperoleh seorang anak lelaki bernama Adan Jumaat. Oleh Marhum Panambahan ia diberi gelar Nanang Sarang.

Marhum Panambahan dan istrinya Ratu Agung sangat mengasihi Raden Rangga Kasuma. Akan tetapi ada saudara Ratu yang iri dengki kepadanya. Keberhasilan siasat licik pangeran Mangkunagara memfitnah Raden Rangga Kasuma hingga akhirnya ia dijatuhi hukuman mati oleh Marhum Panambahan sendiri. Marhum Panambahan berusaha menghibur diri dengan bercengkrama dan melunta di Serapat dan Aluh-Aluh serta tetap menjalankan roda pemerintahan seperti biasa.

Diceritakan bahwa Marhum Panambahan berniat memindahkan kerajaan Banjarmasih ke batang Mangapan karena adanya kekhawatiran, sepeninggalnya nanti Banjarmasih akan hancur karena banyak orang yang ingin menguasai daerah ini. Akhirnya kerajaanpun dipindahkan karena serangan Belanda.

Mulai terjalinnya hubungan kerajaan Banjar di Batang Banyu dengan negeri Pasir melalui sarana perkawinan dan terdapatnya silsilah keturunan Marhum Panambahan serta terjadinya kasus pencurian di Martapura oleh orang Sukadana. Kejadian itu membuat Marhum Panambahan memberikan upeti dari Sukadana kepada si Dayang Gilang dan tidak lagi diserahkan ke Banjarmasih. Marhum Panambahan juga menyerahkan urusan Kota Waringin kepada Dipati Ngganding.

Diceritakan silsilah keturunan Marhum Panambahan dari pihak cucu. Terjalinnya hubungan kekeluargaan antara Pasir dan Banjar ketika Raden Arya Mandalika dari Pasir kawin dengan Gusti Limbuk dari Banjar. Sejak itu Pasir tidak lagi mengantar upeti ke Banjar. Pada saat Kyai Martasura pergi ke Makasar, rajanya, Karaing Patigaloang memintanya agar menyampaikan pesan kepada Marhum Panambahan untuk meminjamkan Pasir kepadanya untuk berdagang dengan sumpah jika ada orang Makasar yang berbuat aniaya terhadap Banjar, mudah-mudahan dibinasakan oleh Allah. Marhum Panambahan pun setuju meminjamkan Pasir. Sejak itu Pasir dan daerah-daerah di sekitarnya tidak membayar upeti ke Banjar. Marhum Panambahan akhirnya melarang raja Sambas untuk mengantar upeti ke negeri Banjar kecuali jika Marhum Panambahan sendiri menghendakinya.

Diceritakan pula silsilah keturunan Marhum Panambahan dari perkawinan pihak cucu. Kerajaan Banjar berkabung karena keluarga dan kerabat keluarga secara bergantian meninggal dunia. Marhum Panambahan mengirim utusannya ke Mataram untuk menjalin persahabatan dengan berbagai persembahan. Sepulangnya para utusan itu yaitu Pangeran Dipati Tapasana, Kyai Tumanggung Raksanagara, dan Kyai Narangbaya, selain diberi bingkisan oleh raja Mataram, mereka juga dihadiahi gundik oleh Marhum Panambahan.

Sepeninggal Marhum Panambahan lalu wafat maka penggantinya adalah Pangeran Dipati Tuha. Ia dilantik dengan gelar sultan Hinayatullah atau Ratu Agung. Marhum Panambahan meninggalkan banyak buyut. Ratu Agung Memberi gelar kebangsawanan kepada raja-raja dibawahnya. Cerita keberangkatan Ratu Kota Waringin untuk memerintah daerah Kota Waringin dan sekitarnya hingga ia harus kembali ke Banjar karena Ratu Agung meninggal dan harus segera ada penggantinya. Pangeran Kasuma Alam dilantik menjadi raja dengan segala kebesaran istana. Ia bergelar Sultan Saidullah atau Ratu Anom.

Ratu Kota Waringin memperjelas kedudukan raja sebagai kepala negara yang langsung dipegang oleh Ratu Anom dan kedudukan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan yang langsung dipegang Pangeran di-Darat sebagai Panambahan di-Darat.

Panambahan di-Darat meninggal dunia dan digantikan Ratu Kota Waringin yang bergelar Ratu Bagawan. Kedua orang kepala pemerintahan itu memerintah selama lima tahun. Akhirnya Ratu Bagawan pun mengundurkan diri.

Ratu Anom meminta persetujuan bawahannya untuk menjadikan Dipati Tapasana sebagai kepala pemerintahan. Merekapun setuju mengangkatnya menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Dipati Mangkubumi. Kehidupan keluarga Ratu Anom hingga dirinya meninggal dunia. Setelah terlebih dahulu Ratu Bagawan meninggal. Atas saran Ratu Hayu dan pembesar istana lainnya maka Raden Halit (Pangeran Mangkubumi) dilantik menjadi raja menggantikan Ratu Anom yang wafat dengan gelar Sultan Riayatullah atau Pangeran Ratu.

Pangeran Mas Dipati menjadi kepala pemerintahan. Terjadinya perkawinan antara Raden Subangsa dengan Mas Surabaya, anak raja Silaparang dan memperoleh anak bernama Raden Mataram. Raden Mataram yang piatu ini kawin dengan Mas Panghulu, anak raja Silaparang juga yang tinggal di Sumbawa dan beroleh anak bernama Raden Bantan.

Setelah memperbaiki perahunya, Pangeran Dipati Anom menyuruh Raden Panjang Jiwa dan Kyai Sutajaya untuk minta bantuan Biaju menyerang Banjar karena Pangeran Ratu hendak menyerahkan kerajaan kepada Raden Bagus. Hingga terjadi perbedaan pendapat dan pandangan dalam menyikapi keinginan Pangeran Dipati Anom yang ingin secepatnya menghendaki pemindahan kekuasaan dari Pangeran Ratu kepada Raden Bagus. Silsilah keturunan raja-raja Kota Waringin itu berasal dari kerabat raja Banjar sejak raja Marhum Panembahan hingga Ratu Agung (Pangeran Dipati Tuha/Sultan Inayatullah).


(disadur dari Cerita Rakyat Banjar)


Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Melayu Malaysia oleh Siti Hawa Salleh , Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990 .


www*folksofbanjar*blogspot*com


#FolksOfBanjar #HikayatBanjar #HikayatRajaBanjar #HikayatBanjarDanKutaringin #KesultananBanjar #KesultananKutaringin #IstanaKuning #JJRas #SitiHawaSalleh #TuturCandi #HikayatRajaRajaMelayu