DIMANA TANAH DI JAJAK DI SITU JUA LANGIT DI JUNJUNG

SELAMAT DATANG DI FOLKS OF BANJAR • BERBAGI INFORMASI TENTANG SEJARAH SENI DAN BUDAYA BANJAR • FOLKS OF BANJAR DI BANGUN UNTUK KELESTARIAN SEJARAH ADAT DAN BUDAYA BANUA BANJAR • KRITIK DAN SARAN ANDA SANGAT KAMI PERLUKAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI • SEMOGA APA YG FOLKS OF BORNEO HADIRKAN DAPAT BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA • TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN KAMI SELALU MENUNGGU KUNJUNGAN ANDA KEMBALI KE BLOG INI

Terjemahkan

Sabtu, 02 Maret 2019

PETAKA 23 MEI 1997 DI BANJARMASIN


PETAKA 23 MEI DI BANJARMASIN

Petaka Tragedi 23 Mei 1997 di Banjarmasin
Jumat pagi tanggal 23 Mei 1997 itu suasana di Kota BANJARMASIN masih seperti hari-hari sebelumnya. Warga beraktivitas seperti biasa, seolah-olah memang tidak akan terjadi apa-apa. Tapi, siapa nyana, selepas siang nanti, pusat nadi Kalimantan Selatan tersebut bakal berubah menjadi Neraka.

Hari itu memang akan ada hajatan besar di pusat kota menjelang Pemilu 1997. Adalah Golkar yang punya giliran berkampanye pada Jumat siang. Kampanye dipusatkan di Lapangan Kamboja yang akan diramaikan dengan panggung hiburan rakyat dan menghadirkan artis-artis ibukota.
Ini adalah kampanye putaran terakhir sehingga bakal digelar besar-besaran. Selain itu, dua tamu agung datang dari Jakarta, yakni Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab) Saadilah Mursjid dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Hasan Basri (Hermawan Sulistyo dalam Syamsuddin Haris, Kecurangan dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilu 1997, 1999:186).


Keliping Surat Kabar 23 Mei 1997

Golkar kala itu masih menjadi kekuatan terbesar di antara 2 kontestan pemilu lainnya yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Didukung penuh oleh rezim Orde Baru, Golkar memang kerap mengerahkan komponen penting pemerintahan untuk mendukung aksi kampanyenya, termasuk di Banjarmasin itu. Tak ada yang mengira, petaka segera tiba.
Prahara Selepas Salat Jumat
Raungan sepeda motor yang bersahut-sahutan di pusat kota siang itu. Anak-anak muda yang hendak meramaikan kampanye Golkar itu tampaknya gagal paham bahwa mereka berulah pada waktu yang salah. Tengah hari itu, masyarakat muslim di Banjarmasin sedang menunaikan ibadah salat Jumat.
Aparat keamanan sebenarnya sudah melarang massa kampanye Golkar melewati Masjid Noor yang terletak di Jalan Pangeran Samudera, Kota Banjarmasin, dengan melakukan pemblokiran. Pasalnya, salat Jumat masih berlangsung dan para jamaah meluber hingga ke jalan di depan halaman muka masjid tersebut.
Namun, para pengikut kampanye partai penguasa yang didukung Satgas Golkar tetap ngotot ingin melalui jalan itu dengan dalih bahwa sembahyang Jumat sudah hampir selesai, dan lantas terjadilah awal tragedi itu.
Selepas ibadah Jumat, massa berdatangan dari segala penjuru. Sasaran pertama yang dituju adalah Kantor DPD Golkar Kalimantan Selatan (Tempo Interaktif, Volume 4, 1997). Massa pun terlibat bentrok dengan Satgas Golkar dari Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) yang beranggotakan anak-anak dari keluarga militer.
Jumlah massa jauh lebih banyak dan semakin besar jika dibandingkan dengan Satgas Golkar. Sejak pukul 14.00 atau jam 2 siang, situasi kian genting. Massa yang hampir seluruhnya membawa senjata tajam bergerak ke pusat kota dan menghancurkan apa saja yang mereka temui.
"Suasana sangat mengerikan. Massa bahkan mulai membawa senjata tajam seperti celurit dan parang," kenang Iin, saksi mata yang saat itu menjadi anggota pemadam kebakaran (Banjarmasin Post, 23 Mei 2014)
Gedung, rumah, mobil, dan berbagai fasilitas umum lainnya tak luput dari amuk massa yang sudah terlanjur kalap. Tak hanya benda-benda mati saja yang diremuk, bentrok fisik antar-saudara sebangsa pun sulit dihindari.
Ibarat medan perang, korban jiwa pun mulai berjatuhan, baik mereka yang memang terlibat pertikaian sejak mula, terlebih lagi orang-orang tak berdosa yang juga harus menjadi tumbal.

Kuburan Massal Korban Kerusuhan 23 Mei 1997 Di Banjarmsin

Intoleran Biang Kerusuhan
Tragedi di Banjarmasin berlangsung hingga tengah malam, bahkan dini hari. Insiden ini tidak hanya mempertarungkan dua kubu yang semula berseteru saja, yakni simpatisan serta Satgas Golkar melawan massa ditambah tindakan represif dari aparat keamanan, tapi kemudian melebar hingga melibatkan banyak pihak lainnya.

Bermula dari kampanye politik, kerusuhan di Banjarmasin berkembang menjadi perang berbalut sentimen SARA. Kericuhan itu menjadi besar setelah terdengar isu bahwa Masjid Noor akan dibakar. Massa pun bergolak, tidak hanya masyarakat muslim asli saja yang bergerak, melainkan juga warga dari etnis Madura yang memang terkenal fanatik.
Kerukunan beragama dan bermasyarakat yang awalnya sangat terjaga benar-benar rusak. Sebagai contoh ikut terlibatnya warga pendatang dari Maluku dengan warga pendatang lainnya dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton, dan Makassar). Mereka yang semula hidup berdampingan tiba-tiba berubah menjadi musuh bebuyutan (Panji Masyarakat, 2000:69).
Warga keturunan Cina yang telah menetap lama di Banjarmasin juga tak luput dari sasaran. Isu kesenjangan sosial pun digoreng dan menjadi pemantik yang mujarab untuk semakin membakar murka massa. Permukiman orang-orang peranakan Tionghoa dirusak, dibakar, juga dijarah.

Ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi kerusuhan sosial di Banjarmasin itu. Selain persaingan politik antara Golkar dan PPP yang juga memiliki massa besar, sentimen anti-Cina turut pula berperan besar, yakni terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi antara masyarakat lokal (orang Banjar) dengan warga keturunan Tionghoa (Muhammad Hisyam, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, 2017:225).
Salah Satu yang Terparah Selama Orba
Dilihat dari skala kerusuhan, jumlah korban dan kerugian yang ditimbulkan, tragedi 23 Mei 1997 di Banjarmasin termasuk salah satu yang paling besar dalam sejarah Orde Baru (Orba). Namun, akibat ketertutupan pemerintah, tidak ada laporan yang akurasinya bisa dipercaya penuh mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan pada waktu itu. Berita-berita di pers pun sangat terbatas dan tidak sebanding (Sulistyo, 1999:185).

Menurut data hasil investigasi Tim Pencari Faka Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tercatat 123 korban tewas, 118 orang luka-luka, dan 179 lainnya hilang. Sedangkan Komnas HAM melaporkan ada 199 orang yang hilang namun 2 di antaranya berhasil ditemukan.
Dari jumlah korban yang tewas, sebagian besar adalah mereka yang sama sekali tidak terlibat konflik. Mereka ditemukan mati hangus karena terjebak di gedung-gedung yang dibakar oleh massa.

Kerugian dari sisi materi juga sangat besar. Banyak gedung, baik pusat pertokoan, kantor pemerintahan, tempat peribadatan, sekolah, hingga rumah warga, termasuk kediaman seorang pendeta, bahkan rumah panti jompo di Banjarmasin yang dirusak, dibakar, serta dihancurkan.

Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Banjarmasin, pusat perbelanjaan yang hancur atau dibakar antara lain Junjung Buih Plaza, Lima Cahaya Departemen Store, Swalayan Sari Kaya, Swalayan Siaolatama, Mitra Plaza, Arjuna Plaza, dan Banjarmasin Teater. Hotel Kalimantan (tempat menginap tamu-tamu politik Golkar dari Jakarta), Bank Lippo, Apotek Casio, Restoran Fajar, juga mengalami hal serupa.
Selain itu, ada 5 gedung gereja dan 1 klenteng yang dirusak. Begitu pula dengan Kantor DPD I Golkar Kalimantan Selatan dan sejumlah kantor pemerintahan, kantor-kantor pelayanan publik, hingga beberapa unit kendaraan bermotor.
Kerusuhan 23 Mei 1997 masih menyisakan kenangan pahit bagi warga Banjarmasin hingga kini. Salah satu akar permasalahannya ternyata bukan hanya sentimen beraroma SARA semata, tapi juga ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan saat itu.

Indikasi tersebut seperti yang terungkap dari pernyataan Asmara Nababan, anggota Komnas HAM, yang turun langsung ke Banjarmasin pada 30 Mei 1997. Dalam wawancaranya dengan Tempo, ia mengatakan:
“Ada kejengkelan yang akumulatif terhadap birokrasi. Celakanya, pemerintah seringkali tidak memperhatikan hal itu. Bukankah cukup bukti bahwa rakyat lebih percaya kepada gosip daripada dengan keterangan resmi pemerintah seperti Gubernur, Pangdam, atau Walikota?”
Tampaknya, kecenderungan semacam itu mulai terjadi lagi pada masyarakat Indonesia sekarang ini.

Sumber: AnonymousCyberHolic1997
Tragedi 23 Mei 1997 (Mengenang Jumat Petaka di Banjarmasin) . (Online). (Diakses 24 Mei 2017).

BUDAYA BAPUKUNG MASYARAKAT MELAYU BANJAR

Bapukung atau Bepukung adalah menempatkan Bayi di ayunan dalam posisi duduk dengan di balut dengan kain yg memberikan efek rasa nyaman kepada si bayi agar tidurnya lbh nyenyak dan pulas.

BUDAYA BAPUKUNG MASYARAKAT MELAYU BANJAR 

Bagi masyarakat melayu BANJAR, budaya berendoi mereka unik sekali. Kedudukannya nampak tidak selesa dan jika salah faham boleh ditafsirkan seperti mahu menjerat bayi. Sebenarnya, budaya yang dinamakan ‘Bapukung’ bukan sekadar untuk majlis cukur jambul tetapi dipraktikkan sejak dahulu sehingga ke hari ini.
Di mana sahaja, bayi diletak dalam buaian dalam cara yang sama menunjukkan budaya bapukung yang masih diamalkan.
Pelik melihat budaya ini kerana kedudukan bayi bukan dibaringkan dalam buaian tetapi diletak seperti sedang duduk dan seterusnya ada ikatan sehelai kain batik (Tapih Bahalai ) lain yang menjerut badannya di bahagian atas (bahagian leher). Walaupun keadaan bayi kelihatan amat menyeksakan, namun sebenarnya, keadaan sebegini menyebabkan bayi tersebut merasa selesa seperti badannya sedang didakap erat oleh Bondanya. Budaya bapukung sebenarnya satu kaedah popular untuk memberikan rasa selesa dan dakapan kepada bayi untuk membolehkannya tidur lebih lama tanpa rasa terganggu.
Menurut Ashmah Ramli , bayi seawal usia sebulan sudah boleh dipukung. Bayi akan merasa lebih selesa berbanding kaedah buaian yang biasa. Memang kelihatan seperti terseksa tapi sebaliknya bayi lebih selesa dan dapat tidur lama. Kanak-kanak sehingga usia sembilan bulan masih boleh dipukung. Cara membalut bayi mestilah kemas dan padat untuk membolehkan bayi merasa seperti dalam rahim ibu. Biasanya, orang Banjar akan membuat satu pondok kecil sekadar boleh memuatkan buaian bapukung dan sesuai dihayun ke depan dan ke belakang
Justeru, orang Banjar yang berkebun dahulu tidak ada masalah membawa anak bersama ke kebun dengan menggunakan bapukung. Pada kebiasaannya, ketika mendodoi anak dalam bapukung, ada nyanyian khusus yang digelar ‘dudoi lagu Banjar’. Asmah Ramli (2012)
mengatakan lagu yang dinyanyikan adalah seperti berikut :
“Yun ayun anakku ayun, ayun di dalam, dalam ayunan, lakas ba pajam, lakasi guring, umma aur banyak gawian.
Lailahaillallah Nabi Muhammad pasuruh Allah. Yuna dinana anakku guring, guring di dalam ayunan , anaku guring dalam Bismillah, jauh culas jauhkan dangki Kur ... semangat hidup baiman”.
Dodoian sekadar perlahan ke depan dan ke belakang tanpa perlu henjutan seperti buaian lain. Tidak sampai beberapa lama, matanya mula terpejam dan terlena. Menurutnya lagi, jika dibiarkan begitu, bayi itu akan terus lena tanpa perlu didodoi lagi.
Menurut temuramah yang telah dijalankan iaitu Encik Samsudin Bin Jilani berumur 62 tahun pula, beliau telah menceritakan serba sedikit mengenai masyarakat Melayu Banjar, Pukung adalah salah satu cara yang digunakan oleh orang Melayu Banjar khususnya bagi menidurkan bayi. Mereka akan membuat buaian menggunakan kain batik atau pelikat. Buaian ini akan dipanggil ayunan.
Bayi akan diletakkan di dalam ayunan dengan cara bayi tersebut akan berada dalam keadaan duduk dan kain tersebut akan diikat sehingga ke bahagian leher bayi tersebut. Oleh itu, bayi yang berada dalam pukongan hanya akan menampakkan kepala sahaja. Bayi yang berada dalam keadaan ini membolehkan mereka tertidur. Ini merupakan salah satu cara yang berbeza daripada masyarakat lain bagi menidurkan bayi.
Picture by : banaxillustration
Descriptions : Poscard and Stamp with Banjar Culture Illustration. Banjarese Culture lifestyle. Mengetengahkan budaya dalam masyarakat Banjar yang kurang dikenali segelintir masyarakat Malaysia. What your perspective on my method to promote the culture? Berikan komen dan pendapat yang bernas.

# FolksOfBanjar # bapukung
# banjarmalaysia