DIMANA TANAH DI JAJAK DI SITU JUA LANGIT DI JUNJUNG

SELAMAT DATANG DI FOLKS OF BANJAR • BERBAGI INFORMASI TENTANG SEJARAH SENI DAN BUDAYA BANJAR • FOLKS OF BANJAR DI BANGUN UNTUK KELESTARIAN SEJARAH ADAT DAN BUDAYA BANUA BANJAR • KRITIK DAN SARAN ANDA SANGAT KAMI PERLUKAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI • SEMOGA APA YG FOLKS OF BORNEO HADIRKAN DAPAT BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA • TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN KAMI SELALU MENUNGGU KUNJUNGAN ANDA KEMBALI KE BLOG INI

Terjemahkan

Jumat, 01 Maret 2019

PUTERI MAYANG SARI PUTERI BANJAR DI TANAH DAYAK

Lukisan Puteri Mayang Sari 

Puteri Mayang Sari Binti DYMM Paduka Seri Sultan Surian Syah ( Raja Banjar I)



Makam Puteri Mayang Sari
Desa Jaar Taming Layang Kalimantan Tengah


Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu, memang agak tersembunyi di balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau kita bepergian dari Banjarmasin ke Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar, bangunan itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah bangunan sekolah dasar akan menghalangi pandangan kita. Menurut tetuha adat di Desa Jaar, di dalam bangunan berbentuk rumah adat Banjar itu terdapat pusara Putri Mayang Sari. Ia adalah putri Sultan Banjar yang pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak Ma'anyan. Karena itu bagi orang Dayak Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti dan makna tersendiri.

Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang Banjar dan Urang Ma'anyan yang bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan data untuk bahan tulisan ini, saya (Pdt. DR. Marko Mahin, MA.) dibantu Pdt.Hadi Saputra Miter, S.Th putra Dayak Ma'anyan asal Tamiang Layang, alumnus STT-GKE Banjarmasin.


Batu Nisan Puteri Mayang Sari
Raja Mata Habang 
( DYMM Paduka Seri Sultan Surian Syah)

Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma'anyan, Mayang Sari yang adalah putri kepada Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi (Martapura) pada hari Arba 13 Juni 1585, yang dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mamma'i. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma'anyan adalah perempuan Ma'anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma'anyan.

Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma'anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalah fahaman Sultan Surian Syah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin'nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Surian Syah terkena denda Adat Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.

Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat mengangkat Putri Mayang Sari untuk memimpin daerah Sangarasi yang sekarang bernama Ja'ar --lima kilometer dari Tamiang Layang. Kepemimpinan Mayang Sari sangat diakui masyarakat setempat, karena selain putri dari seorang Sultan Banjar, ia adalah saudara angkat Uria Mapas Negara. Dalam tradisi Dayak Ma'anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan berambut panjang dan berparas cantik jelita Namun bukan hanya kecantikan yang mempesona dimilikinya, tetapi kemampuan menyejahterakan rakyat di wilayah yang dipimpinnya. Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah diam. Ia rajin mengadakan kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat yang sebenarnya, dan secara khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan masyarakat. Ia selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat. Untuk meningkatkan hasil panen, Putri Mayang Sari menganjurkan agar penduduk menanam padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah kering (tegalan).

Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah Timur yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah Barat yaitu Tangkan, Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Jaar Sangarasi. Menurut kepercayaan orang Dayak Ma'anyan, daerah atau wilayah yang dikunjungi atau dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat berkah-keberuntungan, misalnya pohon buah berbuah lebat. Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal manis dan disenangi banyak orang adalah karena daerah Tanjung adalah tempat singgah Putri Mayang Sari.

Kendati beragama Islam, dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari menggunakan sistem mantir epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan tradisional Dayak Ma'anyan. Dalam pola kepemimpinan ini, satu wilayah ditangani empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus masalah pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma'anyan adalah tata aturan kehidupan.


Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615 atau dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang Minau, Putri Mayang sari wafat. Karena kecintaan rakyat kepadanya, jasadnya tidak langsung dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah hingga kering. Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad Putri Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar sekarang.

Urang Banjar dan Ma'anyan Tradisi lisan orang Dayak Ma'anyan memang banyak bertutur tentang relasi antara Urang Banjar dan Urang Ma'anyan. Misalnya dituturkan, orang Ma'anyan pada mulanya adalah penghuni Kayu Tangi. Karena itu, orang Ma'anyan, dalam bahasa ritual wadian, menyebut dirinya sebagai anak nanyu hengka Kayu Tangi. Hal itu untuk menunjukkan, sebelum hidup terserak di beberapa wilayah sekarang, mereka tinggal di Kayu Tangi, yaitu wilayah yang sekarang berkembang menjadi Kota Banjarmasin.

Dalam Sejarah Banjar (2003: 36-7) dituliskan, sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin pada 1526, bahkan sebelum adanya Negara Dipa dan Negara Daha sebagai cikal-bakal Kesultanan Banjarmasin, berdiri satu negara etnik orang Ma'anyan yang bernama Nansarunai. Karena kuatnya usak jawa atau Jawa yang merusak yaitu gempuran dari Majapahit, mereka harus pergi dari Nansarunai.

Juga dituturkan tentang seorang tokoh bernama Labai Lamiah. Konon, ia adalah orang Dayak Ma'anyan pertama yang menjadi muallaf dan mubaligh. Ia berdakwah di wilayah Nagara yang masyarakatnya pada waktu itu adalah campuran antara suku Dayak Ma'anyan dan mantan prajurit Majapahit yang masih memeluk agama Hindu Syiwa. Labai Lamiah berhasil mengislamkan orang-orang Ma'anyan yang ada di Banua Lawas atau sekarang disebut Pasar Arba, tidak jauh dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat orang Ma'anyan di tempat itu berubah fungsi menjadi Masjid. Hingga sekarang, di halaman Masjid itu masih dapat ditemukan beberapa guci yang menjadi simbol keberadaan orang Ma'anyan.

Orang Dayak Ma'anyan yang memeluk Islam disebut jari hakey. Pada awalnya, sebutan hakey ditujukan kepada utusan Raja Banjar yang hadir dalam Ijambe (upacara kematian). Ketika mereka dengan sopan menolak memakan daging babi yang dihidangkan dan menjelaskan alasannya, orang Ma'anyan berkata: "O ... hakahiye sa" (o ... begitukah). Berdasarkan ucapan itu, semua orang Banjar, muslim dan orang Dayak Ma'anyan yang beragama Islam disebut hakey. Adanya kaum yang bahakey membuat orang Ma'anyan tidak lagi satu warna. Mereka yang bertahan dengan adat, pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar mencari tempat baru. Dipimpin Uria Napulangit, mereka pergi ke dan menetap di tepi Sungai Siong di sebelah Barat Daya Tamiang Layang sekarang.

Namun rasa persaudaraan mereka dengan kerabat yang bahakey tetap terjalin. Hal itu tampak dengan dibangunnya Balai Adat yang dikhususkan untuk muslim, yang mereka sebut Balai Hakey. Bangunan ini dapat dilihat dalam upacara besar Dayak Ma'anyan seperti Ijambe (upacara pembakaran mayat), khususnya di masyarakat Paju Epat (nama wilayah empat kampung besar). Di Balai itu, masakan yang disajikan harus disembelih secara Islam oleh perwakilan yang beragama Islam.Hingga kini, Balai Hakey tetap didirikan oleh orang Dayak Ma'anyan setiap kali ada Ijambe. Balai yang kokoh, sekokoh sikap toleransi orang Ma'anyan.

Perekat Sosial Hikmat atau kearifan memang ada di mana-mana. Ia berseru di pinggir jalan memanggil orang untuk menghampirinya, demikian kata Penulis Amsal. Ia ada di mana saja termasuk di dalam tradisi lisan. Bagi masyarakat yang belum mengenal budaya tulis-menulis, tradisi lisan merupakan sarana untuk menyimpan sejarah silam kehidupan suku. Lebih dari itu, tradisi lisan juga sarana untuk menguraikan jati diri. Karena itu, dalam upacara penting misalnya Ijambe, tradisi lisan selalu dituturkan.

Paparan di atas memperlihatkan betapa dahsyatnya Urang Ma'anyan menguraikan jati dirinya ketika berhadapan dengan Urang Banjar. Tentu saja, hal itu dilakukan karena Banjar tidak sekadar identitas suku, tetapi juga identitas politik, sosial, ekonomi dan agama. Banjar sebagai identitas agama tampak dalam adagium 'Banjar berarti Islam dan Islam berarti Banjar'.

Namun bagi orang Ma'anyan, adagium bersosok dingin itu tidak harus dikontestasikan. Tidak perlu jalan merah yang sarat amarah, apalagi pertumpahan darah. Bagi mereka, Banjar adalah hakey yaitu saudara mereka yang memeluk agama Islam. Tradisi lisan telah menjadi referensi kultural mereka untuk bersikap ramah kepada siapa pun, kendati berbeda agama dan keyakinan. Juga menjadi rujukan politik, ketika menerima seseorang yang tidak seagama dengan mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Tradisi lisan telah menjadi sumber kearifan untuk merekatkan persaudaraan dan kekerabatan.

Tradisi lisan memang seumpama teks Kitab Suci, punya daya paksa yang tinggi namun cara kerjanya sangat halus sehingga tidak terasa sama sekali. Hal ini tampak dari berdirinya bangunan rumah adat Banjar yang adalah makam Putri Mayang Sari di Desa Jaar, Tamiang Layang, Kalteng. Mereka mendirikan bangunan itu berdasarkan tradisi lisan Putri Banjar di Tanah Ma'anyan. Lebih jauh lagi, tempat pemakaman Putri Mayang Sari itu baru saja dipugar oleh Pemkab Barito Timur. Ini petanda, sekarang pun beliau masih dihormati masyarakat setempat.

Secara fisik, bangunan itu adalah makam Putri Mayang Sari. Namun secara metafisik, bangunan itu adalah terusan batin persaudaraan yang menghubungkan Urang Dayak Ma'anyan dengan Urang Banjar. Juga menjadi media budaya dan sumber sejarah, di mana mereka dapat merunut benang merah kekerabatan dengan orang Banjar dan kemudian berkata: "Kalian bukan orang lain."

Sumber tulisan diambil dari catatan Sdr. Hady S. M, S.Th.

Original post : http://www.facebook.com/folksbanjar1526

Silakan Save & Share dengan mencantumkan sumbernya  -Terima Kasih

PANTUN BANJAR


Pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Bahasa Banjar dituturkan oleh suku Melayu Banjar yang umumnya digunakan di Kalimantan Selatan dan provinsi tetangganya serta daerah perantauan suku Banjar di Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

Etimologi, Definisi, dan Bentuk FisikSunting

Pantun Banjar merupakan pengembangan lebih lanjut dari Peribahasa Banjar. Istilah pantun sendiri menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).

Sesuai dengan asal usul etimologisnya yang demikian itu, maka pantun memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang disusun sedemikian rupa dengan merujuk kepada sejumlah kriteria konvensional menyangkut bentuk fisik dan bentuk mental puisi rakyat anonim.

Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini, yakni :

  1. setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah
  2. jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris (pantun biasa dan pantun berkait)
  3. pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait)
  4. khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi,
  5. khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi
  6. lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.

Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia.

Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4.

Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.

Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasanah pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti(1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang MelayuMinang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik local genius bangsa Indonesia sendiri.

Istilah pantun tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor Banjar).


Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib BurukSunting

Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.

Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset (bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau dalam naskah-naskah tausiah para ulama.

Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang fungsional (bukan sekadar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel. Tulisan saya di Wikipedia ini boleh jadi termasuk salah satu usaha itu.

Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan

Fungsi Sosial Pantun BanjarSunting

Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya.

Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.


Source : Wikipedia™

PERSAUDARAAN BANJAR DAN DAYAK


"PERSAUDARAAN BANJAR DAN DAYAK"

Siapakah Orang BANJAR ?
Maka Banjar adalah secara genetis perpaduan gen DAYAK dan MELAYU tetapi secara Budaya lebih dominan berbudayakan MELAYU.suku Banjar bukanlah suku pada awalnya, suku Banjar tercipta semenjak adanya Kesultanan Banjar, jadi suku banjar terbentuk karena sekelompok orang yg menjadi rakyat kesultanan Banjar yg berbudaya MELAYU dan beragama ISLAM yg berdiam disebuah bangsa ( Negara Banjar Raya) Maka suku ini tercipta karena adanya bangsa. Maka Banjar adalah Banjar bukan Dayak, Banjar adalah satu entitas tersendiri tetapi asal usulnya tidak dapat dilepaskan dari orang-orang Dayak. Ibarat saudara sepupuan. Maka tepatlah istilah Banjar & Dayak adalah "BADINGSANAK”. Hubungan antara suku Banjar dan kaum Dayak selalunya dalam keadaan baik. Beberapa kaum Dayak masuk Islam dan berasimilasi dengan budaya suku Banjar yg notabene berbudaya Melayu ,serta memanggil diri mereka orang Banjar. Kaum Dayak menganggap suku Banjar sebagai saudara. Ini diperkuatkan lagi dengan banyaknya perkawinan antara suku Banjar dan kaum Dayak termasuk pada peringkat raja. Contohnya, Biang Lawai, isteri kepada Raja Banjar adalah dari etnik Dayak Ngaju.
Dan banyak lagi Sultan banjar yg mengambil istri dr suku dayak.
Terlebih lagi adanya cabang Kesultanan Banjar di pemukiman dayak yaitu Kesultanan Kotawaringin (Kesultanan Kutaringin) yg diperintah oleh salah satu Pangeran Kesultanan Banjar yaitu Pangeran Anta Kasoema Dan para masyarakat dayak disana menerima kedatangan utusan kesultanan Banjar untuk mendirikan Kesultanan baru /cabang dari Kesultanan Banjar dan menyebarkan islam disana.
Hubungan ini menjadi kuat apabila mereka berhadapan dengan penjajahan. Mereka bersama-sama berperang dan beberapa pejuang yang terlibat dalam Perang Banjar adalah dari etnik Dayak. Contohnya.
Panglima Batur, dari etnik Dayak Siang Murung.
Panglima Wangkang, ayahnya Dayak Bakumpai dan ibunya Banjar.
Panglima Batu Balot (Tumenggung Marha Lahew), pahlawan wanita yang menyerang Kubu Muara Teweh pada tahun 1864-1865.
Banyak lagi pejuang banjar dan dayak berperang dan berjuang bersama.
Tidak pernah ada pergesekan antara banjar dan dayak dan keharmonisan ini akan selalu terjaga. Aamiin yaa rabbal alamiin ...

"DIMANA TANAH DI JAJAK DI SITU JUA LANGIT DI JUNJUNG "

Baginda Sultan Haji Khairul Saleh Al-Moo'tasheem Billah juga berpesan agar masyarakat Banjar di manapun berada tetap menjunjung Marwah BANJAR sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi kebersamaan dan persaudaraan.

Original Post : 

www.facebook.com/aziez.mirza



DATUK TUAN HAJI NASSIR (DATU KAYA) SANG PENDIRI MASJID AGUNG AL-KAROMAH MARTAPURA

Makam Datuk Tuan Haji Nassir di Desa Melayu terlihat diselubungi kain kuning.
Disbudpar Banjar hari ini meninjau makam Datu Tuan Haji Nassir salah satu pendiri Masjid Agung Alkaromah di Desa Melayu, Kecamatan Martapura Timur.

Allahyarham Datu Tuan Haji Nassir yang berjasa dalam proses pembangunan Masjid Al Karomah Martapura tentu saja sangat patut mendapatkan perhatian.
Saat ini, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kebupatian Banjar telah meninjau dan akan memverifikasi sejarah Allahyarham dimasa hidupnya. Langkah ini, sebagai tahap awal untuk mengusulkan makam Allahyarham Datu Tuan Haji Nassir di Desa Melayu sebagai sebuah situs sejarah dan budaya.
Kabid Kebudayaan Banjar, Yuana Karta Abidin menjelaskan, Dia sudah menurunkan stafnya untuk meninjau makam Datu Nassir di Pekauman .
Langkah selanjutnya, pihaknya akan menggali sejarah Allahyarham ke
Masjid Agung Al Karomah Martapura
"Kita sudah tinjau dan coba mengumpulkan informasi dari perpustakaan di Masjid Al Karomah ," katanya.
Dari sejarah yang ada, almarhum memang pemrakasa pembangunan Masjid Agung Al Karomah bersama KH Afif atau yang dikenal Datu Landak.
Melihat sejarah dan usia makam beliau, memang layak makam beliau untuk diusulkan sebagai salah satu situs budaya.
Dengan begitu, makam almarhum bisa lebih terawat. Cuma untuk proses pengusulan ini perlu waktu ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan.
"Kita akan verifikasi keberadaan makam dan sejarahnya. Setelah itu, baru kita bisa usulkan. Kalau melihat usia dan peranan beliau membangun
Masjid Al Karomah memang patut untuk kita usulkan," 

Kubah sederhana dengan dinding kayu serta teralis kawat berdiri di ujung Gang masuk ke Kantor Desa Melayu.
Di dalam kubah itu, terlihat sebuah makam yang terbilang istimewa. Nisan makam itu, terbuat dari bahan kayu ulin berukir bunga yang berukuran besar sebesar berdiameter 16 inch
Makam itu oleh warga disebut makam Tuan Haji Datu Nassir. Allahyarham yang juga dikenal dengan Datu Kaya adalah sosok yang berjasa memprakasai pembangunan Masjid Agung Al Karomah bersama Datu Sheikh Muhammad Afif atau yang dikenal dengan Datu Landak ( Ayahanda Kepada Mufti Kerajaan Inderagiri ,Riau   Sheikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjary )
Allahyarham yang dikenal seorang saudagar turut mendanai pembangunan Masjid Agung Alkaromah yang dimulai dibangun 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897M). Kepala Desa Melayu, Asnan membenarkan makam tersebut adalah makam Tetuha Kampung Melayu yakni Datu Nassir.

Beliau adalah salah satu pendiri Masjid Agung Al Karomah. Sejarahnya, beliau merupakan bendahara sekaligus penyandang dana pembanguban Masjid Al Karomah. Menariknya, makam beliau ini adalah pada nisannya. Nissannya ini sangat besar seukuran galon air.
"Terbuat dari bahan ulin yang diukir. Ukirannya ini, sama dengan ukiran yang ada ditiang Masjid Alkaromah . Ini menandakan orang yang mengukir batu nisan ini sama dengan pengukir di tiang Masjid Agung Al Karomah," ungkapnya, Senin(11/12/2017).


Source : TribunNews.Com